​​​​​​​Debat Pilpres 2019: Make Indonesia Laugh Again Oleh: Ulwan Fakhri*)
Kolom

​​​​​​​Debat Pilpres 2019: Make Indonesia Laugh Again Oleh: Ulwan Fakhri*)

​​​​​​​Butuh suara dari milenial? Suapi saja dengan humor! Mereka inilah konsumen humor garis keras alias comedy native.

Bacaan 2 Menit
Ulwan Fakhri. Foto: Istimewa
Ulwan Fakhri. Foto: Istimewa

Sampai 17 April mendatang, publik akan disuguhkan dengan lima kali debat Pilpres dari kandidat calon presiden-wakil presiden teranyar republik ini. Namun, alih-alih sekadar menjadi ajang menjawab pertanyaan yang dilontarkan dengan baik serta lancar, masing-masing kubu seharusnya bertanggung jawab pula untuk mengendurkan urat-urat publik yang sudah menegang sejak beberapa bulan terakhir menjelang Pilpres 2019.

 

Ya, tugas termendesak sekarang adalah bagaimana para kandidat bisa tampil rileks dan menghibur guna menetralisir akar rumput demokrasi negeri ini yang kadung kepanasan, tentunya tanpa menghilangkan substansi debat serta upaya menjaring simpati masyarakat. Caranya? Siapkan saja amunisi humor yang memadai berikut intensi dan momentum yang pas untuk menembakkannya.

 

Ketimbang mesiu atau nuklir, bahan berdaya ledak tawa ini lebih layak jadi bekal petualangan para kandidat menuju kursi RI 1 dan 2. Salah satu buktinya, tahun 2007 lalu, USA Today dan Gallup menemukan bahwa delapan dari 10 responden surveinya menilai para calon presiden perlu atau sangat perlu memiliki selera humor yang baik.

 

Butuh suara dari milenial? Suapi saja dengan humor! Mereka inilah konsumen humor garis keras alias comedy native – meminjam istilah Tanya Giles, General Manager Comedy Central. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang begitu terikat dengan musik, humor telah menjadi bentuk ekspresi diri utama kaum milenial.

 

Survei dari Nielsen tahun 2012, (dalam Jennings, 2018), menemukan kalau generasi milenial pun merasa lebih memiliki kedekatan dengan orang yang humoris. Terbukti, 63 persen respondennya mengaku lebih ingin terjebak di eskalator bersama komedian favoritnya ketimbang atlet atau musisi idolanya.

 

Humor pada dasarnya bukanlah antitesis dari hal-hal yang “serius”, termasuk untuk urusan politik. Sudah ada beragam contoh bagaimana para elit memanfaatkannya sebagai alat politis yang taktis. Barrack Obama, yang semasa mudanya bekerja sebagai advokat, pernah melawan hoaks bahwa dirinya adalah seorang Muslim lewat sindiran humoristis di White House Correspondents Dinner tahun 2015.

 

Suksesornya, Donald Trump, tak kalah lihai berkomedi. Dipandang konservatif, kaku, dan keras, ia pernah juga mempertontonkan sisi humorisnya dengan menjadikan media massa ternama hingga presiden Korea Utara, Kim Jong Un, sebagai bahan candaannya.

 

Sementara pionir humor di debat presiden Negeri Paman Sam, Ronald Reagan, punya cerita sendiri. Di debat kedua pemilihan presiden tahun 1984, Reagan – yang waktu itu berumur 73 tahun dan tercatat sebagai presiden AS tertua dalam sejarah – menggunakan humor untuk mengakui “kesenioritasannya” sembari menyindir penantangnya, Walter Mondale.

 

“Saya tidak akan mengeksploitasi, untuk kepentingan politik, usia muda dan kurangnya pengalaman lawan saya,” kata Reagan kala menjawab pertanyaan bersejarah dari salah satu panelis, Henry Trewhitt, sembari meyakinkan publik bahwa ia masih mumpuni secara fisik untuk menjadi AS 1 yang kedua kalinya. Mondale tertawa, hadirin juga girang dan mengapresiasi kecerdikan Reagan dengan tepuk tangan.

 

Disertasi David Rhea (2007) menjadi sangat seksi untuk dicatut, terkait usulan agar debat capres dan cawapres di Pilpres 2019 disemarakkan dengan unsur humor. Penelitiannya terhadap 24 siaran debat pemilihan presiden Amerika Serikat dari tahun 1960 sampai 2004 membuktikan bahwa adopsi humor dalam diskursus publik tersebut adalah hal yang wajar.

 

Ketika tak satu pun kandidat yang melontarkan humor di tujuh kali debat Pilpres AS tahun 1960 dan 1976, suasana debat mulai dihiasi candaan di era 80-an. Tahun 1988 bahkan menjadi periode debat “paling cair”, dengan rata-rata lebih dari 20 unsur humor setiap debatnya. Rata-rata penggunaan humor yang tinggi itu masih bertahan hingga 1996.

 

Kendati pada debat antarkandidat presiden AS di tahun 2004 penggunaan humor mengalami titik terendah dibandingkan 20 tahun sebelumnya – karena dominannya pembahasan akan perang di Iraq yang “serius”, tetapi ia sama sekali tidak luntur. Di debat kandidat terakhir tahun 2016 lalu pun Donald Trump dan Hillary Clinton sempat melempar satu-dua jokes, walau situasinya cukup tegang.

 

Hal ini dikarenakan, sedikit banyak, para kandidat menyadari kalau humor dapat memainkan peran penting dalam menyokong kredibilitasnya serta memberikan kesan positif ke masyarakat. Bahkan, lewat satir atau sindiran humoristis ke oposisinya, si kandidat berpotensi menuai lebih banyak simpati publik yang diharapkan berpengaruh ke perolehan suaranya (Partington dan Taylor, 2018).

 

Di sisi lain, penelitian tersebut turut mengungkap kalau kandidat yang humoris juga menggairahkan bagi media massa. Secara statistik, sirkulasi pemberitaan di koran AS pascadebat meningkat jika ada humor sensasional dari sang kandidat. Tentunya, di sistem politik elektoral yang amat bergantung pada popularitas, humor layaknya diberdayakan betul di momen seperti ini.

 

Sebagai katalis untuk mencapai tujuan ini, moderator lantas menjadi variabel yang tak boleh dilupakan. Tim sukses kedua pasangan calon boleh kontra dalam beberapa hal. Akan tetapi sekiranya, keduanya perlu menyepakati satu kelihaian sang dirigen debat nanti: kepekaan terhadap potensi humor. Tak harus selalu mengakhiri setiap segmen debat dengan oneliner, minimal, moderator bisa memancarkan aura santai dan bersahabat, yang diharapkan bisa menular ke kedua pasang kandidat di atas panggung.

 

Si penengah ini juga setidaknya butuh sedikit mengerti comedic timing, sehingga momentum kecairan yang coba dibangun oleh para lakon debat tidak sia-sia serta bisa dikonsumsi publik.

 

Sebelum terpilih sekaligus menjalankan program-program ciamiknya yang diklaim berbasis kesejahteraan bersama, para calon RI 1 dan 2 agaknya bisa mulai memanusiakan jutaan rakyat Indonesia dulu dengan humor. “When you humorize, you humanize,” pesan Segel dan LaCroix (2000). Jennings (2018) memperkuatnya lagi dengan premis di bukunya bahwa alat kontrol publik terefektif sekarang di pelbagai aspek, dari pemasaran sampai politik, bukan lagi kekuatan atau opresi, tetapi kelucuan.

 

Terakhir, layaknya suatu “pertunjukan”, sebagian masyarakat mungkin mengidamkan kejutan dalam debat Pilpres ini. Kebetulan, memang salah satu unsur terpenting humor adalah surprise itu sendiri.

 

*)Ulwan Fakhri adalah peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3).

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

 

Referensi:

  • Jennings, K. (2018). Planet Funny: How Comedy Took Over Our Culture. New York: Scribner.
  • Partington, A. & Taylor, C. (2018). The Language of Persuasion in Politics: An Introduction. Abingdon & New York: Routledge.
  • Rhea, D. (2007). Seriously Funny: A Look at Humor in Televised Presidential Debates (Doctoral thesis).
  • Segel, R. & LaCroix, D. (2000). Laugh & Get Rich: How to Profit from Humor in Business. Burlington: Specific House Publishing.
Tags:

Berita Terkait