Deadline Pengesahan RKUHP Berubah, Pembahasan Substansi Diminta Menyeluruh
Berita

Deadline Pengesahan RKUHP Berubah, Pembahasan Substansi Diminta Menyeluruh

​​​​​​​Bukan sebatas persoalan delik korupsi, tapi juga konsistensi metode kodifikasi, adanya duplikasi pengaturan, proporsionalitas kriminalisasi, hingga tidak jelas serta tidak tepatnya pengaturan.

RED
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah). Foto: RES
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah). Foto: RES

Hasil pertemuan antara pimpinan KPK dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri Kabinet Kerja, Rabu (4/7), berbuah manis bagi lembaga antikorupsi tersebut. Pasalnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, dalam pertemuan Presiden Jokowi menginstruksikan kepada jajarannya agar batas akhir (deadline) pembahasan RKUHP dibebaskan.

 

Intinya, lanjut Agus, deadline pembahasan RUU KUHP diundur, tidak ditentukan tanggalnya. Kemudian disusun lagi dengan menerima dari KPK. “Jadi yang tanggal 17 Agustus itu tidak. Nanti disusun dengan mendapat masukan dari kami, dan kemudian sedapat mungkin masukan ditampung sehingga tidak ada lagi keberatan dari KPK,” ungkap Agus sebagaimana dikutip dari laman resmi setkab, Kamis (5/7).

 

Agus menuturkan, dalam pertemuan tersebut pihaknya menyampaikan sejumlah masukan, mulai dari usulan dikeluarkannya delik korupsi dari RKUHP hingga risikonya bagi upaya pemberantasan korupsi jika delik korupsi tetap dimasukkan. “Beberapa hal yang kami sampaikan antara lain mengusulkan lebih baik itu (masalah korupsi, red) di luar KUHP. Kami  sampaikan mengenai risiko yang besar dan insentifnya tidak kelihatan untuk pemberantasan korupsi,” katanya.

 

Menurut Agus, delik korupsi, delik narkoba, teroris dan HAM lebih baik pengaturannya di luar KUHP. “Kalau sebenarnya itu dikeluarkan dari RUU KUHP ini bisa cepat segera ini kodifikasinya. Oleh karena itu, tim pemerintah akan mempelajari lagi,” jelas Agus seraya menegaskan, bahwa sejak awal KPK sudah duduk dengan pemerintah untuk membahas masalah RKUHP itu.

 

Dikutip dari halaman akun twitter @KPK­_RI, lembaga antikorupsi tersebut mencatat hasil pertemuan pimpinan KPK dengan Presiden Jokowi beserta jajaran di Istana Bogor. Pertama, KPK meyakinkan tak ada keuntungan untuk pemberantasan korupsi, jika delik-delik tipikor masuk dalam RKUHP.

 

Kedua, masuknya delik tipikor dalam RKUHP akan menimbulkan multiinterpretasi dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketiga, masuknya delik tipikor dalam RKUHP akan menghilangkan kekhususan dalam pemberantasan korupsi dan menjadi pesan yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.

 

Keempat, pengaturan kekhususan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime di Indonesia telah diakui dunia internasional dan menjadi praktik terbaik. Jika delik tipikor masuk RKUHP maka itu dianggap sebagai langkah mundur. Kelima, presiden menerima masukan KPK dan masyarakat serta memerintahkan tim pemerintah untuk mengkaji lebih dalam serta tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP. Ini dilakukan agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat.

 

Saat menerima pimpinan KPK itu, Presiden Jokowi didampingi oleh Menko Polhukam Wiranto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, Mensesneg Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Adapun pimpinan KPK yang hadir adalah Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang, dan Laode Muhammad Syarif.

 

Baca:

 

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting mengatakan bahwa persoalan RKUHP bukan hanya sebatas dimasukkan atau tidak dimasukkannya delik korupsi. Tapi juga, berkaitan dengan banyak hal. Mulai dari konsistensi metode kodifikasi, adanya duplikasi pengaturan, proporsionalitas kriminalisasi, hingga tidak jelas serta tidak tepatnya pengaturan.

 

Atas dasar itu, ia berharap, Pemerintah dan DPR perlu membahas kembali persoalan-persoalan dalam RKUHP dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan lain. “Pemerintah dan DPR tidak boleh berhenti pada persoalan delik korupsi saja karena RKUHP mengandung dan berdampak pada banyak sekali materi,” tulis Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu dalam siaran pers yang diterima Hukumonline.

 

Menurut Miko, Pemerintah dan DPR juga perlu untuk melakukan uji implikasi RKUHP. RKUHP sangat penting dan harusnya menyelesaikan masalah dan bukan menjadi masalah di kemudian hari. Meski begitu, ia mengapresiasi pernyataan presiden yang akan mengakomodir kepentingan KPK dan tidak akan mengejar target pengesahan RKUHP.

Tags:

Berita Terkait