David Tobing: Pengawasan Klausula Baku Belum Efektif
Berita

David Tobing: Pengawasan Klausula Baku Belum Efektif

Sehingga sangat merugikan konsumen.

RIA
Bacaan 2 Menit
Advokat David ML Tobing. Foto: SGP.
Advokat David ML Tobing. Foto: SGP.

Advokat David Maruhum Lumbantobing atau yang akrab disapa David Tobing menilai bahwa pengawasan klausula baku yang belum efektif dapat sangat merugikan konsumen.

Ini merupakan salah satu pemaparan dalam disertasinya bertajuk “Klausula Baku: Paradoks dalam Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen”. David meraih gelar doktor hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) setelah mempertahankan disertasinya itu dalam sidang terbuka di Kampus FHUI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (4/7).

David berpendapat pengawasan klausula baku yang saat ini berada di bawah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), tidak tepat. “Menurut saya memang BPSK tidak layak lagi diberi kewenangan mengawas klausula baku karena memang fungsi utama BPSK adalah penyelesaian sengketa,” ujar Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ini.

Pengawasan yang dilakukan oleh BPSK sangat tidak efektif mengingat keberadaan BPSK berada di kabupaten dan kota, sementara klausula baku itu diterapkan oleh satu perusahaan yang berpusat di Jakarta misalnya, dan keberlakuannya di berbagai provinsi bahkan kabupaten kota di Indonesia, jelas David.

“Sehingga kalaupun ada satu BPSK yang membatalkan satu klausula baku perusahaan tertentu, maka itu hanya berlaku di kabupaten dan kota tersebut,” tukasnya mempermasalahkan lembaga yang bertugas mengawasi penggunaan klausula baku saat ini.

Pria yang dikenal sebagai lawyer pembela konsumen ini pun berani mengambil kesimpulan demikian mengingat faktor Sumber Daya Manusia di dalam lembaga pengawasan yang telah ada sangat terbatas. Faktor lainnya, disampaikan oleh David, adalah tidak adanya aturan lanjutan terkait larangan penggunaan klausula baku.

“Negara sudah mengatur larangan tentang klausula baku tetapi tidak disertai dengan aturan lanjutan. Ketiadaan aturan lanjutan membuat lembaga pengawas yang sudah dibentuk masih kurang dalam tugas pengawasannya,” ucap David.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, partner pada Kantor Hukum Adams & Co. ini menyarankan perlu adanya pembentukan lembaga pengawas klausula baku yang diberikan kewenangan memeriksa klausula baku sebelum diberlakukan kepada konsumen.

“Klausula baku harus diawasi, diseleksi, direview, dan didaftarkan sebelum diberlakukan kepada konsumen,” tegas David.

David menawarkan sebuah solusi pembentukan lembaga seperti halnya di Belanda. Di Belanda ada satu lembaga pengawasan yang mengawasi klausula baku sebelum diberlakukan kepada konsumen.

“Di Indonesia hal ini bisa dilakukan. Lembaga tersebut adalah lembaga yang bisa mengkoordinir berbagai stake holder dalam hal ini di pemerintah, kementerian-kementerian. Lembaga tersebut juga harus merepresentasikan berbagai kepentingan baik itu dari konsumen, pelaku usaha, maupun akademisi dan sebagainya,” katanya.

Perbaikan UU Perlindungan Konsumen
Larangan penggunaan klausula baku sudah diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahkan terdapat ketentuan pidana yang mencantumkan ancaman bagi pelaku usaha yang melanggarnya. Namun, karena faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, pengawasan klausula baku masih belum efektif.

Peraih gelar doktor ke-217 dari FHUI ini mengumpamakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku di Indonesia kini sebagai ‘huruf tanpa makna’. “Karena memang menurut histori yang saya pelajari, saya teliti, tidak ada sama sekali naskah akademis dalam pembuatan undang-undang tersebut,” David beralasan.

“Dan juga kalau dilihat sejarahnya, memang undang-undang ini dipaksakan karena ada syarat-syarat IMF tahun 1998. Mereka tidak berpikir jauh karena berpikir yang penting ada undang-undang,” lanjutnya.

Oleh karena itu, David berharap hasil penelitiannya ini dapat menjadi masukan dalam memperbaiki Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Tags:

Berita Terkait