Data WNA dalam DPT Pemilu Mesti Diverifikasi
Berita

Data WNA dalam DPT Pemilu Mesti Diverifikasi

Meski pemberian e-KTP bagi WNA sesuai UU Administrasi Kependudukan, namun perlu pembeda dengan e-KTP WNI.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi WNA: Foto: RES
Ilustrasi WNA: Foto: RES

Terungkapnya warga negara asing (WNA) yang memiliki Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) di Cianjur Jawa Barat yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) menjadi sorotan masyarakat karena diduga berpotensi rawan terjadinya pemilih “siluman” di Tempat Pemilihan Sementara (TPS) jelang pelaksanaan Pemilu 2019. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Ditjen Keimigrasian perlu memverifikasi data WNA dalam DPT Pemilu 2019.

 

Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo menilai penerbitan e-KTP bagi WNA di Indonesia bukan kesalahan pemerintah. Sebab, pemerintah menjalankan amanat Pasal 63 UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pasal 63 ayat (1) menyebutkan, “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP.”

 

“Bahwa WNI dan WNA itu diberikan legalitas dalam bentuk e-KTP,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (28/2/2019) kemarin.

 


UU Administrasi Kependudukan

Pasal 63

  1. Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el.
  2. Dihapus.
  3. KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara nasional.
  4. Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP-el kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa berlaku Izin Tinggal Tetap berakhir.
  5. Penduduk yang telah memiliki KTP-el wajib membawanya pada saat bepergian.
  6. Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) KTP-el.”

 

Lagipula, dalam UU Adminduk pun tidak secara eksplisit menyebutkan adanya pembeda antara e-KTP yang dimiliki WNI dan WNA. Sebelum terbit UU Adminduk ini terhadap WNA yang berada di Indonesia identitasnya hanya berupa paspor. “Ini tentunya kesalahan pertama yang saya lihat dalam regulasi yang kita buat,” kata Firman.

 

Masalahnya, kata Firman, KPU tidak cermat menilai adanya kelemahan dalam UU Adminduk itu terutama e-KTP WNI dan WNA yang mengantongi izin tinggal di Indonesia tidak terdapat perbedaan bentuk dan tampilannya. “Perbedaan ini yang idak diatur secara eksplisit dalam undang-undang,” kata dia.

 

Karena itu, mantan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) itu menilai perlu formula agar dapat mendeteksi pemilik e-KTP asli atau sebaliknya termasuk e-KTP WNA. Apalagi, TPS-TPS belum memiliki sistem mendeteksi perbedaan e-KTP WNI dan WNA. Karena itu, KPU dan Ditjen Keimigrasian mesti melakukan verifikasi data WNA dalam DPT Pemilu 2019 karena Keimigrasian yang memegang data WNA.

 

Lalu, data WNA tersebut diverifikasi bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan KPU. Nantinya, KPU dapat membuat regulasi terkait penegasan status WNA dalam Pemilu sesuai dengan UU Pemilu dan konstitusi. Hasilnya diumumkan ke publik bersama dengan Mendagri. Hal ini sekaligus dapat mengkompilasi semua data kependudukan WNI dan WNA.

 

“Yang jelas, hanya WNI yang punya hak memilih dan dipilih, WNA tidak punya hak (memberi suara dalam pemilu). KPU dapat segera menerbitkan regulasi perihal e-KTP WNA yang diperbolehkan berdasarkan verifikasi kantor Keimigrasian. “Kemendagri pun mesti membuat regulasi perihal pembeda e-KTP yang dimiliki WNI dan WNA.”

 

Di tempat yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, I Gede Suratma mengatakan pemberian e-KTP bagi WNA sudah diatur Pasal 63 ayat (1) UU Adminduk. Bagi yang memegang Keterangan Izin Tinggal Sementara (Kitas) dan telah berusia 17 tahun, telah dan/atau penah kawin, wajib memiliki KTP. Namun, setelah terbitnya revisi UU No. 24 Tahun 2013 tentang Adminduk berubah menjadi e-KTP.

 

Soal pihak yang memberi kewenangan hak memilih menjadi hak KPU setelah mendapat hasil verifikasi dari Keimigrasian dan Kemendagri. “Yang pasti seluruh pemilik e-KTP ada semua di database kependudukan sentral kita, dan sangat mudah untuk melihat. Kalau saja DPT diserahkan kepada kita, kita lihat di situ, apakah ada di dalam DPT atau tidak. Itu sangat mudah,” ujarnya.

 

Ketua Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai pemasalahan e-KTP sejak produksi hingga distribusi ke masyarakat kerap menuai persoalan. Bahkan, proyek pembuatan e-KTP pun dikorupsi anggaraanya. Belum lagi, saat pembuatan hingga sampai di tangan pemohon mengalami waktu yang lama dan muncul e-KTP berceceran di lahan masyarakat.

 

“Ini masalah yang beruntun, bagaimana publik tidak curiga sejak pertama muncul masalah korupsi e-KTP, e-KTP tercecer, sampai terakhir ini tentang WNA,” ujarnya.

 

Menurutnya, persolannya UU Adminduk terkait produk e-KTP belum tersosialisasi dengan baik ke masyarakat dan sistemnya terdapat kelemahan. Seperti, belum ada sistem yang bisa mendeteksi perbedaan e-KTP asli dan asli tapi palsu (aspal). Begitu pula dengan mendeteksi Nomor Identitas Kependudukan (NIK) yang berbeda. “Ini kan menjadi kecurigaan yang panjang.”

Tags:

Berita Terkait