Dasar Hukum Pembuatan RPP Penyadapan Diuji Ke MK
Utama

Dasar Hukum Pembuatan RPP Penyadapan Diuji Ke MK

Tiga aktivis mengajukan permohonan judicial review Pasal 31 ayat (4) UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE.

Ali
Bacaan 2 Menit
Anggara c.s berpendapat segala bentuk penyadapan harus <br> diatur dengan Undang-Undang. Ilustrasi foto:Sgp
Anggara c.s berpendapat segala bentuk penyadapan harus <br> diatur dengan Undang-Undang. Ilustrasi foto:Sgp

Menteri Telekomunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring sepertinya harus berpikir ulang bila ingin tetap mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (RPP Penyadapan). Pasalnya, dasar hukum yang mengamanatkan pemerintah membuat RPP Penyadapan sedang diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Pasal yang kerap jadi 'tameng' pemerintah itu adalah Pasal 31 ayat (4) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal itu berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”. “Kami menguji ketentuan pasal ini,” ujar salah seorang pemohon, Anggara di Gedung MK, Selasa (19/1). Selain Anggara, pemohon yang lain adalah Supriyadi Widodo dan Wahyudi Djafar.  

 

Anggara mengatakan pasal yang mengamanatkan agar penyadapan diatur dengan PP ini bertentangan dengan UUD 1945. Ia menegaskan tindakan penyadapan merupakan bentuk pembatasan terhadap hak privasi seseorang yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sedangkan, pembatasan hak asasi manusia harus diatur dengan UU. Bukan hanya lewat Peraturan Pemerintah.

 

Anggara tak asal omong. Ia mengutip Putusan MK terhadap pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan oleh Mulyana Wirakusumah pada 2006 lalu. Salah satu pertimbangan putusan itu menyebutkan 'karena penyadapan dan rekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. 

             

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 

Pemohon yang lain, Wahyudi M Djafar mengatakan seharusnya penyadapan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasalnya, penyadapan dilakukan ketika proses penegakan hukum berlajan. “Diaturnya memang harus di KUHAP. Tak perlu dibuat UU khusus mengenai penyadapan,” tutur peneliti Perkumpulan Demos (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia) ini.

 

Ketiga pemohon memang menyebutkan dirinya sebagai warga negara Indonesia untuk  menunjukan kedudukan hukum atau legal standing-nya. Namun dua pemohon -Anggara dan Supriyadi- menyebutkan profesinya sebagai advokat rentan dirugikan dengan ketentuan tersebut. Anggara mengatakan UU Advokat memang menegaskan advokat dilindungi dari penyadapan ketika berbicara dengan kliennya. Namun, ia khawatir aturan ini tak akan berjalan sebagaimana mestinya bila RPP Penyadapan diberlakukan.

 

“Pemohon I dan Pemohon II berpendapat ketentuan yang mengamanatkan pengaturan dan tata cara intersepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UU No.11/2008 tentang ITE akan merusak hak dan kewenangan pemohon I dan Pemohon II sebagai seorang advokat yang harus menjalankan fungsinya secara bebas dan mandiri untuk dapat memastikan berlakunya hukum sebagaimana mestinya,” demikian salah satu argumen Anggara dan Supriyadi yang tertuang dalam berkas permohonan.  

 

UU Telekomunikasi

Sebelumnya, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dalam rilis resminya telah menyatakan akan mendukung seandainya ada upaya mengatur penyadapan. Perdebatan yang sedang terjadi bukan soal kalah atau menang, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama. Namun, Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo, Gatot S Dewa Baroto mencatat ada dua peraturan yang tak bisa dikesampingkan.

 

Pertama, Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang menyebutkan ketentuan mengenai tata cara intersepsi diatur dengan PP. Kedua Pasal 40 ayat (3) UU NO.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi berbunyi ketentuan tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi diatur dengan PP. Hingga kini, PP yang diamanatkan itu belum terbit. Yang muncul adalah Peraturan Menkominfo No. 11/Per/M.Kominfo/2/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

 

Anggara menyadari persoalan ini. Bila UU ITE dibatalkan oleh MK, masih ada UU Telekomunikasi yang mengamanatkan hal serupa. Namun, ia mengatakan akan fokus terlebih dahulu terhadap pengujian Pasal 31 ayat (4) UU ITE.

 

Tags:

Berita Terkait