Dasar Hukum Lembaga Iptek Sangat Rapuh
Berita

Dasar Hukum Lembaga Iptek Sangat Rapuh

Jakarta, hukumonline. Hasil kajian Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) menunjukan, proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia masih dihadapkan pada beribu masalah. Mulai dari rapuhnya sistem hukum yang mengatur iptek, sampai pada rendahnya kualitas sumber daya iptek itu sendiri. Jika demikian, di mana posisi Indonesia dalam persaingan global kelak?

Amr/Apr
Bacaan 2 Menit
Dasar Hukum Lembaga Iptek Sangat Rapuh
Hukumonline

Sebagai bagian dari rangkaian sosialisasi RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RUU Sisnasiptek), KMNRT memaparkan hasil kajiannya terhadap beberapa produk hukum tentang iptek. Dalam penjelasannya di depan sidang Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Selasa (27/03), Menneg Ristek A.S Hikam menyebutkan berbagai permasalahan yang kini dihadapi KMNRT.

Satu hal yang diakui menjadi persoalan utama dalam kajian itu adalah tentang rapuhnya dasar hukum yang melandasi pembentukan dan pendirian lembaga iptek. Sebagai salah satu elemen utama iptek, lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan iptek selama ini tidak memiliki fondasi hukum yang kuat.

Kepres rentan perubahan

Lembaga-lembaga iptek yang telah ada, sebagian besar dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden (Kepres). Contohnya, dasar hukum pembentukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) adalah Keppres No.47/1991, dan Dewan Riset Nasional (DRN) dengan Keppres No.1/1994. Begitu juga LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) melalui Keppres No.1/1986.

Hikam memandang, tatanan kelembagaan yang telah tertata dengan baik selama ini masih sangat terbuka untuk diubah-ubah. Akibatnya, hal tersebut akan mempengaruhi pembangunan dan pengembangan iptek selanjutnya.

Kepres sebagai peraturan perundang-undangan memang memiliki struktur yang rendah, walaupun masih dalam kategori peraturan pusat. Keppres merupakan peraturan perundangan yang dibentuk oleh Presiden dan tanpa persetujuan dari DPR. Bukanlah suatu hal yang sulit bagi pemerintah untuk mengubah, baik dalam artian merevisi atau mencabut, suatu Keppres jika dianggap tidak sesuai.

Oleh sebab itu, keberlangsungan kebijakan yang dituangkan dengan Kepres menjadi sangat relatif sifatnya. Mengenai hal ini, Hikam menyatakan: "Arah dan kesinambungan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek menjadi sangat rentan terhadap perubahan politik."

Sejuta persoalan lain menanti

Bukan hanya itu, KMNRT juga masih dihadapkan pada beragam persoalan lain menyangkut pengembangan iptek, mulai dari fasilitasnya hingga SDM-nya. Masalah fasilitas terkait dengan masalah dana.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) di lembaga pemerintahan maupun di lembaga swasta seringkali dianaktirikan dalam masalah alokasi dana. Pada saat ini, menurut data KMNRT, kegiatan penelitian hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar.

Nampaknya, fenomena ini lebih mencerminkan keengganan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk melakukan penelitian, dari pada ketiadaan alokasi dana. Pasalnya, peraturan-peraturan yang ada sama sekali tidak memberatkan setiap kegiatan penelitian oleh perusahaan-perusahaan.

Sebagai contoh, adalah pengaturan dalam UU No.10/1994 tentang Pajak Penghasilan sebagaiamana telah diubah terakhir dengan UU No.17/2000. Dalam ketentuan Pasal 6 huruf f diatur, besarnya penghasilan kena pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya penelitian.

Jadi, pihak perusahaan seharusnya memandang penelitian bukan sebagai expenditure melainkan revenue. Dengan kata lain, proses penelitian adalah investasi tersendiri dan bukan pengeluaran yang percuma.

SDM iptek jeblok

Persoalan kedua terpaut dengan masalah sumber daya manusia (SDM) iptek. Elemen iptek yang satu ini banyak dikeluhkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Rendahnya kuantitas SDM iptek disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan rata-rata masyarakat Indonesia.

Rendahnya kualitas SDM iptek di lain pihak merupakan akibat dari minusnya apresiasi pemerintah terhadap para ilmuwan. SDM iptek yang peduli akan pengembangan iptek belum mendapat fasilitas yang memadai dari pemerintah.

Untuk itu, KMNNRT mengusulkan diterapkannya sistem insentif dalam pengembangan iptek. "Sistem insentif ini tidak saja diwujudkan dalam bentuk uang, tetapi juga jaminan, peluang, nilai lebih dan peraturan pendukung," tegas Hikam.

Aspek kuantitas dan kualitas SDM iptek ini merupakan unsur yang strategis dalam upaya pengembangan iptek melalui alih teknologi. Alih teknologi sendiri merupakan kata kunci dalam pengembangan iptek di Indonesia. Sayangnya, lagi-lagi belum ada ketentuan yang baku mengatur tentang alih teknologi.

Aktor-aktor pasar internasional tidak akan menunggu sampai Indonesia siap dengan seluruh persoalan ini. Persaingan global telah di depan mata, sedangkan kita masih berkutat pada persiapan-persiapan yang tidak kunjung selesai. Posisi Indonesia, dengan demikian, sangat terancam di tengah buasnya pasar global.

Rupanya, begitu banyak hal yang harus diakomodasi oleh RUU Sisnasiptek untuk mewujudkan sistem nasional iptek yang komprehensif. Cukup melegakan pula kenyataan bahwa salah satu visi dari RUU ini adalah menjadikan hukum sebagai panglima. Kini tinggal melihat, ada tidaknya kemauan dari semua pihak untuk mewujudkannya.

Tags: