Darurat Hukum, Presiden Diminta Turun Tangan Benahi Karut Marut Penegakan Hukum
Utama

Darurat Hukum, Presiden Diminta Turun Tangan Benahi Karut Marut Penegakan Hukum

Melalui pembenahan law making hingga law enforcement, dari mulai sektor hulu sampai hilir. Sebagai upaya menyelesaikan berbagai persoalan hukum di institusi penegakan hukum, khususnya bagaimana mengubah budaya hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Dalam kesempatan yang sama, Hakim Agung periode 2011-2018 Prof Topane Gayus Lumbuun berpandangan keadaan dunia hukum di tanah air dalam keadaan abnormal. Malahan berpotensi mengkhawatirkan bila tak serius cepat ditangani. Karenanya presiden sebagai pucuk pimpinan tertinggi perlu segera turun tangan mengambil alih. “Tapi sejauh mana kewenangan presiden terhadap lembaga yudikatif?” ujarnya.

Menurutnya, insiden penangkapan terhadap hakim agung Sudrajat Dimyati dalam kasus dugaan suap menjadi tamparan keras bagi wajah peradilan. Baginya, hakim menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan malah terlibat dalam tindak pidana suap. Kondisi tersebut amat mengkhawatirkan. Sebab boleh jadi, investor asing pun bakal berpikir ulang ketika perusahaan tempatnya menanam modal bersengketa di pengadilan dengan kualitas hakim yang seperti itu.

Gayus menuturkan mengacu data laporan Komisi Yudisial setidaknya ada 85 hakim terjerat persoalan hukum. Dia khawatir jumlah hakim tersandung hukum bakal meningkat bila kedaruratan hukum tak cepat diatasi. “Pertanyaan apakah presiden bisa mempunyai kewenangan untuk lembaga yudikatif dalam kedaurutannya itu,” kata dia lagi mempertanyakan.

Mantan anggota dewan periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu melanjutkan sistem pemerintahan menganut trias politica dengan distribusi kekuasaan. Nah tersisa di lembaga yudikatif soal penanganan perkara. Menurutnya kekuasaan kehakiman tak boleh diintervensi pihak manapun. “Tapi kekuasaan keuangan yang bisa menerobos hakim agung hingga berujung ke KPK.”

Menurutnya, presiden dapat mencampuri urusan yudikatif dengan beberapa ketentuan dan dalam praktik. Misalnya, setiap pembentukan pengadilan melalui surat keputusan (SK) Presiden. Dengan kata lain, presiden boleh mencampuri lembaga yudikatif tanpa boleh dibatasi, kecuali penanganan dan putusan perkara hukum. Boleh dibilang, presiden memiliki kewenangan memasuki ranah yudikatif terbatas dengan kekuasaan sisa.

“Yang tidak boleh memeriksa dan putusan perkara. Tapi membangun pengadilannya, presiden yang memutuskan, mengangkat dan memberhentikan hakim/hakim agung juga oleh presiden. Artinya presiden sudah masuk ke yudikatif. Sehingga presiden bisa membenahi lembaganya,” kata dia.

Hukumonline.com

Mantan Hakim Agung Prof Topane Gayus Lumbuun dan Ketua DPN Peradi Prof Otto Hasibuan.

Sementara itu, Ketua Umum DPN Peradi, Prof Otto Hasibuan menambahkan kondisi bidang hukum memasuki darurat. Insiden darurat hukum bukan terjadi munculnya kasus Ferdy Sambo, eks Kadiv Propam Mabes Polri itu. Sebab, Otto mengklaim telah mengingatkan sejak lama soal perlunya mereformasi bidang hukum.

“Bahwa persoalan hukum tidak bisa lagi ditangani oleh institusi, tapi presiden harus turun tangan dalam laporan akhir tahun 2019 lalu,” katanya.

Memang dalam beberapa bulan terakhir bermunculan kasus hukum yang menjerat sejumlah aparatur penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, advokat, hingga kehakiman. Menurutnya, budaya hukum mesti diubah. Tapi, pihak yang dapat menyelesaikan semua persoalan budaya hukum di semua penegak hukum hanyalah presiden

“Momentum ini jangan lagi kita lewatkan begitu saja. Percuma saya teriak begini kalau presiden tidak mau bergerak. Saya berharap presiden memberikan petuah, tunjukanlah hal yang baik, kita akan backup presiden,” katanya.

Tags:

Berita Terkait