Dari Warisan Kolonial ke Tanah Bekas
Edsus Akhir Tahun 2012:

Dari Warisan Kolonial ke Tanah Bekas

Sempat dipindahkan ke Yogyakarta seiring dengan perpindahan ibukota negara.

ASH
Bacaan 2 Menit

Saat itu, keberadaan MA menyatu dengan Kejaksaan Agung setelah terbitnya UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan Organisasi dan Kekuasaan MA dan Kejaksaan Agung. Kedua lembaga pada akhirnya berpisah yang ditandai dengan terbinya UU No. 15 Tahun 1961.

Hijrah ke Medan Merdeka
Selama menempati lahan di jalan Lapangan Banteng No. 1 Jakarta, kepemimpinan MA sudah berganti enam kali dimulai duet Mr Kusumah Atmadja-Mr R. Satochid Kartanegara (1946-1950), Mr Wirjono Prodjodikoro-Mr R. Satochid Kartanegara (1952-1966), Soerjadi, S.H.-Prof Soebekti (1966-1968), Prof Soebekti-M. Abdurrachman, S.H. (1968-1974), Prof Oemar Seno Adji-Dr. R. Santoso Poedjosoebroto, S.H. (1974-1981), Letjen Mudjono, S.H.-Purwoto Suhadi Gandasubrata, S.H. (1981-1984).

Pemikiran tentang gedung baru mulai muncul saat duet kepemimpinan Letjen TNI (Purn) Ali Said-Purwoto Suhadi Gandasubrata (1984-1992). Untuk lokasi baru, jajaran pimpinan MA memilih areal tanah yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta. Areal itu merupakan tanah hibah dari Divisi Perbekalan Dalam Negeri PT Pertamina, sebagian tanah yang lain dibeli dari Bengkel Kali Kuning dan bekas gedung Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.            

Tepatnya, 17 Februari 1986, Wakil Ketua MA Purwoto Suhadi Gandasubrata meresmikan dimulainya pembangunan gedung MA di Jalan Medan Merdeka Utara yang dilakukan PT Nindya Karya selaku kontraktor. Seperti dituturkan Kepala Biro Umum MA, Ramdani Dudung, biaya pembangunan fisik gedung MA itu menelan biaya sekitar Rp9 miliar di luar biaya konsultan dan kontraktor pembangunan gedung.  

Alasan kepindahan gedung MA ke Jalan Medan Merdeka Utara lantaran gedung MA yang lama dinilai sudah tidak representatif lagi. Pasalnya, saat periode itu jumlah hakim agung dan pegawai peradilan terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah perkara yang masuk ke MA. Saat itu, susunan kepemimpinan MA terdiri dari ketua, wakil ketua, enam ketua muda, dan 46 hakim agung, ditambah satu orang panitera/sekjen.      

“Bertambahnya hakim agung dan pegawai MA semakin banyak, alasan kita pindah saat itu,” tutur Ramdani. 

Awalnya, pemilihan desain gedung MA ini didasarkan pada sayembara (lomba) desain gedung dengan menampilkan beberapa maket (sketsa desain gedung) oleh beberapa perusahaan konsultan. Selanjutnya, tim pengelola teknis yang terdiri dari perwakilan dari biro umum MA, Departemen Pekerjaan Umum, Yayasan Arsitek Indonesia yang memilih maket desain gedung.  

“Tim, akhirnya memilih PT Arkonin, perusahaan konsultan perencana, sebagai pemenang dengan harga lelang. Saat itu, MA sendiri menunjuk, Halim Sunandar (hakim PN Bogor) sebagai pemimpin proyek,” kata Ramdani. Namun, tak banyak referensi yang mengulas alasan pemilihan desain gedung lembaga peradilan tertinggi itu oleh tim pengelola teknis.  

Memakan waktu sekitar tiga tahun, pada 1989 gedung MA yang baru rampung dibangun. Sejak saat itulah, MA resmi “hijrah” menempati gedung MA di Jalan Medan Merdeka Utara No 9-13 Jakarta. Yang tampak mencolok dari gedung baru itu adalah keberadaan empat pilar yang berdiri kokoh di pelataran depan. Empat pilar itu cerminan dari empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan PTUN, dan peradilan militer.

Mengacu pada sketsa gedung, Gedung MA yang berdiri di atas tanah seluas 26.237 M2 sudah mengalami tiga kali renovasi yakni pada pada tahun 2003, 2004, 2008. Ditambah, Masjid Al-Mahkamah yang terlihat apik dibangun pada 2011 yang menelan biaya sekitar Rp12,5 miliar terletak sebelah kanan belakang gedung utama di era kepemimpinan Harifin Andi Tumpa dan Abdul Kadir Mappong.

Tags:

Berita Terkait