Dari Klaten ke Jakarta, Memperjuangkan Kesetaraan
Edisi Akhir Tahun 2011:

Dari Klaten ke Jakarta, Memperjuangkan Kesetaraan

Tak mudah, tetapi Widodo alias Shakila bertekad tak akan surut pula melakoni tantangan yang menghadang.

FNH
Bacaan 2 Menit
Widodo memperjuangkan kesetaraan bagi kaum LGBTI. Foto: Sgp
Widodo memperjuangkan kesetaraan bagi kaum LGBTI. Foto: Sgp

Separuh dari usianya kini, Widodo Budidarmo (40) tiada henti berupaya mensejajarkan orang-orang ‘serupa’ dengannya dalam masyarakat. Meski secercah harapan, tak akan diam dia mengejarnya. 

Nama Widodo memang akrab di telinga penggiat hak asasi manusia. Dialah pendiri Arus Pelangi. Sebuah organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan kesamaan hak kaum lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI). Organisasi ini selalu berupaya untuk mempengaruhi pemikiran masyarakat akan kesamaan hak LGBTI. 

Widodo bersama Arus Pelangi, terus mewarnai pemberitaan tentang LGBTI yang dipojokkan dan mendapat perlakuan tak setara. Bahkan, tak ada kata gentar untuk berdialog dengan pejabat pemerintah yang menurutnya masih menjadi alat untuk meminggirkan Widodo maupun rekan-rekannya. 

Dia lahir dari keluarga sederhana di Klaten, Jawa Tengah. Dilahirkan sebagai anak ke tujuh dari delapan bersaudara, Widodo hanya bersekolah hingga tingkat SMP. “Saya tidak lanjutkan ke SMA karena saya memang tidak suka sekolah. Menurut saya sekolah hanya tempat pembodohan manusia,” kata Widodo lantang. 

Meski demikian, dia bersyukur di daerah asalnya, orang sepertinya tak dikucilkan dalam pergaulan baik keluarga, lingkungan, maupun sekolah. Karena itu setelah berhenti sekolah, dia hendak merantau ke Jakarta. Tujuannya hanya satu, melihat bagaimana kehidupan orang sepertinya. 

Keinginan itu mendapat dukungan penuh dari orang tua dan saudara-saudaranya. Hidup di Jakarta pun terasa aman karena dia mendapat dukungan dana dari keluarga. Tetapi, Widodo tetap berusaha mandiri. Dia sempat bekerja di sebuah perusahaan retail. Selain di Jakarta, Widodo juga sempat berwiraswasta membuka warung di Semarang, dan bergadang peci di Yogyakarta.  

Tapi, meski hidup aman di Jakarta, dirinya tetap terkoyak ketika mengetahui sendiri bagaimana orang sepertinya diperlakukan. Sering dia melihat cemoohan yang mampir ke orang-orang sepertinya. Belum lagi para wanita dalam tubuh pria yang mencoba mencari makan dengan menjajakan diri di jalanan selalu diperlakukan jahat oleh petugas penjaga ketentraman kota maupun Kepolisian. 

Mimpi untuk memperjuangkan hak mereka dan tentu saja hak Widodo sendiri, makin menguat. Seiring berjalannya waktu, ia terdorong untuk mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan hak kesetaraan kaum-kaum minoritas yang  memiliki orientasi seksual berbeda. Pada tahun 2000, gagasan ini mulai ia rintis. Namun, lembaga yang kini dikenal dengan nama Arus Pelangi ini baru menegaskan keberadaannya pada 2005. 

Melalui organisasi inilah, Widodo menyatakan sebagai awal mula perjuangan yang dia cita-citakan. Sebagai sebuah lemabaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan hak serta kesetaraan (LGBTI) dengan warga negara lain. 

Perjuangan itu memang tak mudah. Badai tentangan dari berbagai pihak terus menghantam. Widodo mengaku di teror oleh orang-orang yang tidak ia kenal setelah ia memprakarsai parade kemerdekaan di Jalan Malioboro Yogyakarta yang dilaksanakan oleh kaum LGBTI serta beberapa aktifis lainnya tanpa menutupi identitas diri yang sebenarnya. 

“Saya sempat dicari oleh polisi, karena kebetulan saat itu saya yang menjadi koordinatornya. Namun saya tidak takut, dan sejak itu kita mulai memperlihatkan identitas diri ke publik,” lirih Widodo. 

Sebagai kaum minoritas, Widodo menyadari bahwa apa yang tengah ia perjuangkan bukanlah perihal sepele.  Terbukti dengan banyaknya pihak-pihak yang menentang mereka, terutama lembaga yang berbasis agama. Namun, ia tetap maju tak gentar untuk menyuarakan persamaan hak dan kesetaraan mereka dengan warga lainnya. 

“Ketika ada pemilihan duta waria di Depok, kita diserang oleh salah satu lembaga agama. Mereka memaksa untuk membubarkan acara. Namun kita tidak mau dan tidak segampang itu untuk membubarkan acara. Kita punya hak yang sama koq sebagai warga Negara untuk melakukan kegiatan,” papar Widodo. 

Ditambah lagi, perlakuan aparat terhadap waria yang suka mangkal di Taman Lawang yang menurutnya tidak memperlakukan waria sebagai manusia. Dan ini yang tengah ia perjuangkan bersama teman-teman di Arus Pelangi meskipun banyak kasus pemukulan dan penganiayaan waria menguap begitu saja. 

“Sebenarnya kita nggak muluk-muluk. Cuma minta diperlakukan sama dengan yang lainnya. Jangan lihat mereka sebagai seorang waria yang tengah ‘menjual’, namun perlakukan mereka sewajarnya sebagai manusia juga. Ada waria yang sampai disundut rokok, dicebur ke kali,” ceritanya. 

Melalui Arus Pelangi, ia dan teman-teman memiliki visi dan misi yang jelas. Memperjuangkan persamaan hak atas pekerjaan, kesetaraan, hak sebagai warga sipil dan terutama sekali hak seorang individu membuat ikatan dengan seorang individu lainnya. Pandangan ikatan ini merupakan sebuah bentuk perjanjian yang dilakukan oleh dua orang individu dengan tidak melihat jenis kelamin. Namun mereka mengaku bahwa sesuatu yang tidak mungkin didapatkan adalah adanya ikatan pernikahan antar sejenis. 

Dengan dukungan dari orangtua dan keluarga, Widodo berkomitmen untuk terus berlari mengejar mimpi-mimpi kaum LGBTI dalam menuntut persamaan hak. Entah itu ada yang menghadang, ia tetap akan berdiri tegak memperjuangkan hak-hak kaum minoritas ini. Buktinya, tidak hanya orang-orang yang memiliki orientasi berbeda saja yang menjadi bagian dari Arus Pelangi, namun aktifis mahasiswa serta anggota Dewan pun turut serta berkecimpung dalam memperjuangkan hak mereka. 

Melawan arus bukanlah perkara gampang. Jika ingin tetap sampai pada tujuan, perlu keberanian, kekuatan, serta keyakinan yang kuat untuk mencapainya. Begitu pula yang dilakukan oleh Widodo. Berbekal ijazah SMP, ia memperlajari dunia hukum melalui alam dan lingkungannya. Dan ia pun mencoba melakukan pendekatan kepada pemerintah agar kaum minoritas ini dapat segera diakui di Indonesia. 

“Salah satu jalan bagi kaum LGBTI untuk ‘go public’ ya dengan adanya aturan undang-undang yang tidak mendiskriminasikan kita. Karena ada banyak undang-undang yang jelas-jelas menyudutkan saya dan teman-teman, salah satunya UU Pornografi,” ucapnya lirih. 

Hingga saat ini, Arus Pelangi tengah menanamkan kepada teman-teman LGBTI yang tergabung di dalam Arus Pelangi untuk tetap percaya diri. Disamping mereka juga ingin menjadikan kaum LGBTI kaum yang intelektual sehingga tidak dilecehlan dan diperlakukan semena-mena oleh orang lain. Caranya dengan mentransfer ilmu pengetahuan sebanyak mungkin kepada LGBTI. 

“Sejauh ini bentuk perjuangan kita ya menangani kasus, advokasi kebijakan undang-undang, soal hak atas administrasi kependudukan, UU Pornografi, KUHAP dan KUHP dan kita juga berjuang agar kita tidak menjadi beban dari undang-undang yang akhirnya mempengaruhi dinamika politik,” ungkapnya. 

Meski merasa perjalanan masih jauh, namun rasa optimisme tetap ada pada diri Widodo yang juga akrab disapa dengan nama Shakila ini. Ia percaya bahwa suatu saat perjuangan ini akan berakhir manis. Perjuangan untuk teman-teman LGBTI agar mendapatkan akses pekerjaan, perlakuan yang sama, hak untuk melakukan ikatan sebagaimana warga negara lain yang tidak memiliki perbedaan seperti mereka.

Tags:

Berita Terkait