Dampak Negatif Pembebasan Napi Harus Diantisipasi
Berita

Dampak Negatif Pembebasan Napi Harus Diantisipasi

Suasana pembatasan sosial dan keranjingan medsos ikut membentuk rasa takut di masyarakat.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Pembebasan warga binaan Rutan Kelas I Depok dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Foto: RES
Pembebasan warga binaan Rutan Kelas I Depok dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Foto: RES

Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM membebaskan puluhan ribu narapidana untuk mengantisipasi penyebaran coronavirus disease 2019 (Covid-19) di lembaga pemasyarakatan harus ditopang dengan pengawasan. Jika tidak, dampak negatifnya akan semakin meresahkan masyarakat. Hingga awal pekan ini, sudah ada 38.822 narapidana yang dibebaskan dalam rangka program asimilasi dan integrasi ke masyarakat.

Program ini perlu diawasi dengan baik karena ternyata beberapa narapidana yang dibebaskan justru kembali terlibat melakukan kejahatan. Sudah belasan napi tertangkap kembali karena melakukan kejahatan seperti perampokan dan pencurian dengan kekerasan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menegaskan bahwa napi yang mengulangi tindak pidana akan dimasukkan kembali ke lembaga pemasyarakatan.

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, dan peneliti senior ICJR, Anggara, berpendapat bahwa jumlah napi yang kembali berulah relatif kecil dibanding jumlah napi yang mendapatkan kebebasan dalam program asimilasi dan integrasi. Meskipun demikian, kejahatan napi tersebut telah berdampak pada tumbuhnya rasa takut di masyarakat. “Muncul fear of crime, rasa takut pada kejahatan,” ujarnya dalam diskusi daring yang diselenggarakan Sabtu (18/4).

Menurut akademisi yang juga komisioner Ombudsman Republik Indonesia itu, fear of crime yang kini tumbuh ikut dipengaruhi oleh suasana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Orang diminta tinggal di rumah, banyak yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan, dan rasa kehawatir terjangkit penyakit Covid-19. Ditambah pula masyarakat terpapar informasi dari media sosial, padahal informasi yang tersaji tak sepenuhnya benar.

(Baca juga: Straft Cell Menanti Asimilasi yang Berulah Lagi).

Adrianus juga menyinggung persiapan pembebasan napi. Stigmatisasi terhadap napi ikut menyumbang penolakan kehadiran para napi di masyarakat. Malah, di satu sisi sangat mungkin tidak diterima oleh keluarga; dan di sisi lain, ada daya tarik dari anggota geng bagi napi yang selama ini terikat pada kelompok atau organisasi kejahatan. ”Mungkin saja begitu lepas, tidak langsung pulang ke rumah, tapi mencari gengnya,” jelas Guru Besar Kriminilogi Universitas Indonesia itu.

Itu sebabnya pengawasan harus diperkuat, terutama mengantisipasi dampak negatif yang timbul di masyarakat. Tidak hanya Balai Pemasyarakatan (Bapas) tetapi juga kepolisian. Kapolri Idham Azis sendiri sudah menerbitkan Telegram No. ST/1238/IV/OPS.2/2020 yang berisi amanat kepada polisi untuk memelihara keamanan dan ketertiban, terutama selama Covid-19.

Peneliti senior ICJR, Anggara, menyatakan dukungan atas program asimilasi dan integrasi napi ke masyarakat. Langkah itu penting untuk mengurangi kelebihan beban di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Jumlah narapidana sudah melebihi daya tampung yang tersedia. Meskipun kebijakan itu tak menjamin tidak ada lagi orang yang akan masuk penjara, setidaknya pembebasan puluhan ribu napi dapat mengurangi overcrowded. “Patut didukung,” ujarnya dalam diskusi yang sama.

Tetapi ia juga menaruh harap agar pembebasan napi dilakukan secara rasional dan berdasarkan pertimbangan yang matang. Pada saat yang sama, kata dia, perlu ada pembaruan sistem peradilan pidana. Jangan sampai setiap pelaku kejahatan harus dimasukkan ke balik jeruji besi. Indonesia harus memperkaya alternatif penghukuman pidana selain penjara. Selama ini, banyak orang yang seharusnya masuk penjara akhirnya masuk karena sistem peradilan pidana yang bermasalah. Dalam konteks ini pula Anggara mengkritik banyaknya Undang-Undang yang mengatur pasal-pasal pidana, sehingga memunculkan overcriminalization. Akibatnya, aparat penegak hukum sangat mudah membawa orang ke dalam proses hukum pidana yang berujung pada penjara. “Harus dibereskan sistem peradilan pidana kita,” ujarnya.

(Baca juga: Napi Asimilasi Kembali Berulah, Bukti Pidana Pemenjaraan Tidak Efektif).

Adrianus mencoba melihatnya dari perspektif masyarakat. Sepanjang di masyarakat masih berkembang pemikiran punitif, dalam arti setiap orang melakukan kejahatan harus masuk penjara, pembenahan lapas dan rutan akan sulit dilakukan. Faktanya, di masyarakat masih berkembang pemikiran untuk melaporkan orang lain dan mendesak polisi untuk memenjarakan orang yang dilaporkan. Padahal, ada mekanisme sosial lain yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Kalaupun dibawa ke proses hukum, tidak harus selalu masuk penjara. Masih ada anggota masyarakat yang tidak menerima hukuman kerja sosial.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Daddy Fahmanadie juga mencatat pentingnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap napi yang kembali melakukan kejahatan. Jangan sampai residivis bertambah banyak. Yang sangat dikhawatirkan antara lain adalah jika kualitas kejahatan yang dilakukan napi bersangkutan lebih berat.

Sangat mungkin dampak negatif atau risiko yang timbul di masyarakat tidak terlalu dipertimbangkan saat membebaskan puluhan ribu napi. Tetapi, apapun alasannya, hukum harus ditegakkan di saat pandemi. Proses pemasyarakatan tetap jalan, sekaligus mengawasi perilaku napi yang dibebaskan. “Terlepas dari faktor pandemi, penegakan hukum harus tetap berjalan dengan baik dan benar”.

Tags:

Berita Terkait