Dampak Konstitusional RUU MK Mengancam Prinsip Kekuasaan Kehakiman
Terbaru

Dampak Konstitusional RUU MK Mengancam Prinsip Kekuasaan Kehakiman

Dalam putusan MK No.81/PUU-XXI/2023 menyebutkan bila perubahan UU MK dilakukan tidak boleh merugikan subyek yang disebutkan dalam UU MK tersebut yakni hakim MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi sidang dengan sembilan hakim konstitusi. Foto: RES
Ilustrasi sidang dengan sembilan hakim konstitusi. Foto: RES

Kesekian kali DPR dan pemerintah membahas dan mengambil keputusan tingkat pertama terhadap RUU berujung polemik. Seperti RUU tentang Perubahan Keempat Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Publik ingat betul saat DPR membahas perubahan ketiga UU MK dilakukan dalam waktu cepat tanpa melibatkan partisipasi publik secara bermakna.  Kali ini, perubahan keempat pun dilakukan dengan cara serupa, bahkan tertutup.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ferdian Andi mengatakan ada dampak konstitusional yang bakal diterima dengan tertutupnya pembahasan RUU Perubahan Keempat tentang UU Mahkamah Konstitusi. Malahan RUU MK tersebut menimbulkan spekulasi dan asumsi di tengah masyarakat mengingat sudah muncul sejak awal 2023 lalu.

“Jika perubahan UU MK tetap dilakukan akan  berimplikasi konstitusional bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia” ujarnya melalui keterangannya di Jakarta, Rabu (22/5/2024).

Ferdian mengingatkan mestinya setiap pembahasan RUU dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik secara bermakna sebagaimana mandat dari UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Baca juga:

Dia berpandangan, bila perubahan keempat terhadap UU MK dimaksudkan untuk perubahan  syarat usia dan masa jabatan hakim MK, maka bakal berpotensi mengancam  prinsip dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ferdian menunjuk Putusan MK No 81 Tahun 2023 soal perubahan UU MK khususnya terkait perubahan syarat usia dan masa jabatan bakal mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

“Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” katanya.

Pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) mengatakan, dalam putusan MK No.81/PUU-XXI/2023 juga menyebutkan  bila perubahan UU MK dilakukan tidak boleh merugikan subyek yang disebutkan dalam UU MK tersebut yakni hakim MK.  Menurut dia, perubahan UU MK ditujukan pada hakim MK yang diangkat setelah berlakunya UU tersebut diubah.

“Poin ini harus dibaca dengan seksama oleh pembentuk UU,” ujarnya mengingatkan.

Di bagian lain, Ferdian menyebutkan fenomena legalisme otokratis (autocratic legalism) yang menggejala di sejumlah negara dengan menjadikan MK sebagai obyek lembaga yang dikuasai oleh cabang kekuasaan lainnya. Fenomena ini menurut Ferdian, dapat mengonversi pemerintahan demokratis menjadi pemerintahan otokratik. Nah, gejala yang terjadi di sejumlah negara mesti dibaca dengan seksama.

“Jangan sampai  legalisme otokratik berupa konversi negara demokrasi ke negara otokratik melalui mekanisme hukum terjadi di Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Susi Dwi Harijanti, mengatakan proses penyusunan dan substansi RUU tersebut berpotensi meruntuhkan independensi hakim konstitusi. Prof Susi menegaskan UUD 1945 menjamin independensi kekuasaan kehakiman. MK didesain untuk melindungi dan menegakan konstitusi, sistem politik demokrasi dan HAM.

Tapi dalam beberapa waktu terakhir yang terjadi malah melenceng dari desain tersebut, karena terjadi intervensi politik antara lain melalui revisi UU MK yang sudah dilakukan 3 kali. Begitu juga dengan rencana revisi UU MK yang keempat ini, tidak ada perubahan substansial hanya menyoal tentang masa jabatan hakim konstitusi, termasuk pimpinan MK dan mengutak-atik syarat usia.

Dalam putusan MK No.81/PUU-XXI/2023 yang menguji UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang MK, Prof Susi mengingatkan lembaga konstitusi itu menyebut perlu penegasan atau rambu bagi pembentuk UU. Terutama terkait UU MK berkaitan dengan syarat usia, tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat.

Ketentuan itu berlaku untuk hakim konstitusi yang selanjutnya atau setelah UU MK itu diubah. Sayangnya, pembuat UU mengabaikan hal tersebut dan bisa dilihat dalam substansi RUU Perubahan Keempat UU MK. Dia menegaskan perubahan UU MK tidak boleh dilakukan karena ada kebutuhan politik yang sifatnya partisan.

“Akademisi dan masyarakat sipil harus mengkritik keras RUU ini,” kata Prof Susi dalam diskusi bertema ‘Sembunyi-Sembunyi Revisi UU MK Lagi’ yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Constitutional and Administrative Law Society (CALS), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Kamis (16/05/2024) pekan kemarin.

Tags:

Berita Terkait