Dalam Perceraian, Anak Tak Bercerai dari Orang Tua
Kolom

Dalam Perceraian, Anak Tak Bercerai dari Orang Tua

​​​​​​​Konflik yang terjadi di rumah maupun proses persidangan yang menyita perhatian orang tua, kerabat maupun publik, sudah harusnya direspons.

Bacaan 2 Menit
Laras Susanti. Foto: Istimewa
Laras Susanti. Foto: Istimewa

Secara universal, perkawinan dipandang sebagai ikatan yang diharapkan menjadi jembatan tercapainya kebahagiaan. Realitasnya, tak sedikit perkawinan yang berujung perceraian. Tak dapat dipungkiri, perceraian berdampak tak hanya pada pasangan tapi juga anak. Tak sedikit perceraian yang berbuntut konflik pemeliharaan anak. Dalam prosesnya, anak terluka berulang kali.

 

Perlindungan Hukum

Meskipun ikatan perkawinan berdimensi privat, negara hadir mengatur dan melindungi hak para pihak. Peran negara tersebut diimplementasikan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan perangkat yang diperlukan. Di Indonesia, pengaturan mengenai perkawinan diunifikasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dikatakan sebagai undang-undang yang mengunifikasi karena UU Perkawinan hadir sebagai aturan payung dalam kondisi pluralisme hukum agama, hukum adat maupun hukum formal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

 

Dalam UU Perkawinan, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi tersebut menggambarkan perkawinan sebagai ikatan sakral tidak semata hubungan hukum suami istri. Sebagai ikatan sakral, hukum agama dan adat memandang perceraian adalah perbuatan yang harus dihindari.

 

Dalam hukum agama Islam, dikenal hadits “perceraian adalah suatu perkara yang dihalalkan, tapi dibenci oleh Allah.” Sementara, hukum agama katolik menentang perceraian. Di berbagai sistem kekerabatan adat, perceraian dihindari karena berpotensi memutus dan merusak hubungan kekerabatan. UU Perkawinan mengatur perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian harus didasari cukup alasan bahwa kedua belah pihak dapat hidup rukun sebagai suami istri.

 

Pasal 41 UU Perkawinan mengatur putusnya perkawinan karena perceraian berakibat: kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; jika terjadi perselisihan tentang penguasaan anak-anak, Pengadilan berwenang untuk memutus.

 

Selanjutnya, dalam hal biaya pemeliharaan dan pendidikan bagi anak menjadi tanggung jawab bapak. Jika diketahui bapak tidak mampu maka ibu ikut memikul biaya-biaya tersebut. Merujuk lebih jauh pada bab Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak UU Perkawinan, orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban pemeliharaan anak tersebut wajib dipenuhi sampai anak mencapai usia dewasa meskipun terjadi perceraian.

 

Kepentingan Terbaik bagi Anak

Dari ketentuan dalam UU Perkawinan di atas dapat diketahui bahwa secara substatif dan preventif, hak anak telah dijamin oleh UU Perkawinan dan negara dalam hal ini Pengadilan menjadi institusi yang berperan dalam terjadi perselisihan pemeliharaan anak. Studi terhadap 96 putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta pada rentang waktu tahun 2012-2015, yang dilakukan oleh Mahasiswa Kelas Putusan Pengadilan Perdata, Fakultas Hukum UGM, tahun 2018 (hasil studi putusan dsirkulasikan terbatas), menunjukkan 75% gugatan memuat petitum/ permohonan mengenai hak pemeliharaan anak. Sebanyak 62 putusan memberikan hak pemeliharaan anak kepada ibu. Selanjutnya, 14 putusan memutus hak pemeliharaan anak oleh ayah dan ibu, dan sisanya 5 putusan menjatuhkan hak pemeliharaan kepada ayah.

 

Dalam UU Perkawinan tidak disebutkan secara eksplisit perihal pertimbangan dalam pemeliharaan anak pasca perceraian. Dari studi putusan di atas diketahui bahwa majelis hakim seringkali mengutip kepentingan terbaik bagi anak menjadi dasar memutus hak pemeliharaan anak. Pertimbangan majelis hakim dalam penjatuhan hak pemeliharaan antara lain: pengasuhan anak secara nyata memang dominan pada salah satu pihak khususnya anak di bawah 12 tahun oleh ibu, salah satu pihak dipandang lebih bertanggung jawab, kedekatan anak dengan salah satu pihak, kemampuan finansial, pilihan anak dan alasan teknis pemeliharaan lain.

 

Studi terhadap 98 putusan di atas menunjukkan bahwa dalam memeriksa perkara perceraian, majelis hakim memeriksa alat bukti surat termasuk di dalamnya akta kelahiran anak dan saksi-saksi yang meliputi: kerabat, tetangga, anak, orang tua dan teman dari pasangan yang bercerai. Tercatat ada sembilan putusan yang mendengarkan keterangan anak (yang telah memasuki usia pubertas). Anak hanya dimintai keterangan dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia anak sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Melibatkan anak dalam persidangan, hanya akan membuat mereka menjadi korban berulang kali (David Saposnek, 1983).

 

Lantas apakah alat bukti surat maupun keterangan saksi dipandang cukup bagi hakim dalam memutus kepentingan terbaik bagi anak. Studi putusan di atas menunjukkan, kondisi anak bagi fisik dan psikis misalnya tidak didukung dengan alat bukti yang memadai. Belum lagi soal pemeliharaan anak pada saat persidangan cerai berlangsung. Dalam kondisi ibu dan bapak sedang berkonflik, pemeliharaan atas anak luput dari perhatian. Pada konteks itu, dapat disimpulkan, perlindungan hukum preventif saja dalam UU Perkawinan tidaklah cukup.

 

Perlindungan anak dalam perceraian menjadi isu krusial di manapun. Tidak ada satu negara pun yang dapat dikatakan menyediakan pengaturan dan penyediaan sarana yang sempurna. Tentu hal tersebut tidak menghalangi, untuk belajar hal baik dari negara lain. Negara-negara common law system, contohnya Amerika Serikat, menggunakan putusan hakim terdahulu untuk merumuskan faktor-faktor penentuan kepentingan terbaik bagi anak (Andrea Charlow, 1987).

 

Sistem peradilan, di Amerika Serikat, misalnya, didukung oleh guardian ad litem. Mereka adalah orang yang ditunjuk oleh pengadilan untuk menyelidiki kondisi keluarga dan memberikan rekomendasi pemeliharaan hak anak. Rekomendasi yang diberikan bersifat obyektif karena guardian ad litem bukan keluarga maupun teman dari pasangan yang bercerai.

 

Langkah ke Depan

Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2011-2016, terdapat 4.292 pengaduan tentang anak menjadi korban dalam pengasuhan (KPAI, 2018). Konflik yang terjadi di rumah maupun proses persidangan yang menyita perhatian orang tua, kerabat maupun publik, sudah harusnya direspons.

 

Salah satunya adalah mendorong Mahkamah Agung menerbitkan peraturan tentang anak dalam perkara perceraian yang mengatur prinsip-prinsip dalam memutus nasib anak, faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menentukan kepentingan terbaik bagi anak, alat bukti yang digunakan, prosedur pemeriksaan anak di muka sidang (jika dibutuhkan) dan sarana pendukung pemeliharaan anak selama masa persidangan.

 

Khusus mengenai sarana pendukung pemeliharaan anak saat proses perceraian dan pasca putusan, perlu didesain lebih tegas keterlibatan keluarga, kerabat, maupun Pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial dan lembaga non-pemerintah. Sistem peradilan harus memastikan orang tua dalam proses dan pasca putusan perceraian tidak melalaikan kewajiban pemeliharaan anak.

 

*)Laras Susanti adalah Dosen dan Peneliti Law, Gender and Society Research Center, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait