Dalam Kepailitan, Bank Harus Kompromi dengan Buruh
Berita

Dalam Kepailitan, Bank Harus Kompromi dengan Buruh

Agar harga pelelangan atau penjualan aset tidak hancur.

ALI
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Niaga Jakarta. Foto: RES
Pengadilan Niaga Jakarta. Foto: RES
Kurator Swandy Halim mengatakan bahwa kurator atau bank harus berkompromi dengan pihak buruh dalam proses kepailitan untuk mencapai win-win solution.   

Swandy menjelaskan ada tiga macam kreditor dalam kepailitan. Yakni, kreditor separatis, preferen dan konkuren. Kedudukan yang paling tinggi adalah kreditor separatis. “Kedudukan separatis hanya kalah oleh (kewajiban membayar pajak,-red),” ujarnya.

Dalam kepailitan, yang bertindak sebagai kreditor separatis adalah bank. Pasalnya, bank memberikan pinjaman sejumlah uang dengan jaminan berupa gadai dan hipotik kepada perusahaan. Karenanya, bila perusahaan dinyatakan pailit, biasanya hak bank harus diutamakan terlebih dahulu.

Namun, Swandy berpendapat bahwa meski kedudukan bank cukup tinggi, tetapi bank juga harus berkompromi dengan buruh (yang juga menuntut gaji dan pesangonnya). “Tak pernah disebutkan bahwa preferen (salah satunya gaji buruh,-red) lebih tinggi dari separatis. Pabrik nggak bisa dilelang karena duduki oleh buruh,” ujarnya.

Swandy menjelaskan bahwa sudah menjadi praktik di lapangan bila terjadi kepailitan, buruh langsung bergerak “menduduki” perusahaan untuk menuntut haknya berupa gaji atau pesangon. Secara hukum, bank memang lebih tinggi dari buruh, tetapi upaya kompromi harus tetap dilakukan.

“Ketika pabrik mau dilelang (dijual), tidak bisa dilakukan karena diduduki buruh. Orang mau masuk atau melihat nggak bisa. Kurator atau bank tidak bisa melanjutkan penjualan aset,” ujarnya dalam seminar Ikatan Alumni FH Unpad pekan lalu. 

Oleh karena itu, Swandy mengatakan dirinya kerap menyampaikan ini ke forum hakim pengawas ketika ia menjalankan profesinya sebagai kurator. “Memang harus ada komprom, ada yang mau mengalah,” tambahnya.

Pandangan Swandy ini dikritik oleh salah seorang peserta seminar, Pejabat Lelang Kelas II Priyanto. Ia menilai bahwa pandangan ini merupakan sebuah preseden buruk. Pasalnya, dari segi hukum, lelang hanya bisa dibatalkan dalam dua hal: ditarik oleh penjual atau putsan inkracht. Tak ada alasan “pendudukan” oleh buruh dijadikan dasar membatalkan lelang.

“Buruh itu sebenarnya tanggung jawab debitor atau kreditor?” sergahnya.

Swandy kembali menjelaskan bahwa hukum kepailitan memang tidak mencantumkan hak buruh untuk mengklaim aset perusahaan. Namun, ia menuturkan bahwa sarannya agar bank untuk berkompromi dengan buruh setelah melihat beberapa praktik di lapangan.

Lebih lanjut, Swandy memberi contoh sebuah pabrik yang laku dijual seharga Rp10 miliar. Lalu, ada hak buruh (berupa gaji dan pesangon) yang harus dibayar senilai Rp2 miliar. “Lalu buruh menghambat dan menghalang-halangi penjualan aset perusahaan sebelum haknya dipastikan dibayar,” ujarnya.

“Bank (selaku kreditor separatis,-red) punya pilihan. Bisa kompromi dengan buruh, menjual seharga Rp10 miliar, lalu membayar hak buruh Rp2 miliar. Bandingakn dengan tidak mau kompromi, dengan cara tetap menjual meski pabrik diduduki buruh, dengan harga hancur-hancuran. Misalnya, pabrik hanya terjual Rp4 miliar. Ini realita,” jelasnya. 
Tags:

Berita Terkait