Dahlan Iskan Siap Menjadi Dirut PLN
Berita

Dahlan Iskan Siap Menjadi Dirut PLN

Presiden sudah tiga kali mewawancarainya seputar rencana pergantian Dirut PLN.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Dahlan Iskan Siap Menjadi Dirut PLN
Hukumonline

Kabar akan adanya pergantian Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bukan hal yang baru muncul di media. Sejauh ini, nama yang paling santer menggantikan Fahmi Mochtar adalah Dahlan Iskan. Namun, ditemui di Hotel Aryaduta pada sebuah acara diskusi, yang bersangkutan malah terlihat 'malu-malu kucing'. CEO Jawa Pos Group itu mengaku dirinya lebih suka tidak terpilih menjadi Dirut di perusahaan listrik pelat merah tersebut. Menurutnya, tugas PLN cukup berat yaitu mengurusi listrik di Indonesia dengan wilayah yang luas.

Menjadi Dirut di sebuah perusahaan berlabel Badan Usaha Milik Negara (BUMN), jelas merupakan sebuah tantangan bagi Dahlan. Apalagi, lelaki kelahiran Magetan, Jawa Timur ini memiliki pengalaman pemimpin yang cukup lumayan. Memulai karir sebagai calon reporter di sebuah surat kabar, kini ia menjadi bos di Jawa Pos Group hingga sekarang. Kendati bisa dibilang sukses, Dahlan masih tetap merendahkan hati. “Saya lebih senang kalau tidak jadi. Karena PLN berat, beratnya karena dia ngurusin listrik,” ujarnya berguyon.


Tapi bukan Dahlan namanya jika tidak berani mengambil tantangan dan memaksimalkan kesempatan. Dalam acara diskusi itu, ia mengaku siap jika memang dipilih untuk menduduki kursi nomor satu di PLN. “Kalau ditanya siap atau tidak saya siap, tapi saya tidak tahu. Namun saya lebih suka tidak dipilih atau tidak jadi Dirut, karena saya akan kehilangan perusahaan-perusahaan saya, ada 100 lebih tuh,” selorohnya.

 

Gembar-gembor Dahlan segera 'melengserkan' Fahmi sepertinya bukan isapan jempol belaka. Ia mengaku sejauh ini, dirinya sudah tiga kali dipanggil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk diwawancarai seputar rencana pergantian Dirut PLN. Apalagi, Menneg BUMN Mustafa Abubakar sebelumnya juga mengakui, Dahlan Iskan merupakan salah satu calon Dirut PLN yang sudah mengikuti tes wawancara dengan dirinya. Selain Dahlan, dua calon Dirut adalah berasal dari jajaran direksi saat ini.

 

Ya, Dahlan memang sosok pemimpin tangguh di sebuah grup media yang besar. Pertanyaannya sekarang, apakah ia mampu menjalankan tugas sebagai orang nomor satu di perusahaan yang bisa dibilang cukup bermasalah itu, apalagi yang akan diurusnya adalah masalah listrik? Apakah ia juga mampu mengatasi masalah klasik yang sering timbul hampir setiap tahun, seperti krisis listrik yang dan penyediaan energi listrik nasional?

 

Sekadar ingatan, ketika UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan belum diganti oleh UU No. 30 Tahun 2009, ditentukan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh Negara dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK)—Pasal 7 ayat (1) UU No. 15/1985. Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 1990, PLN yang saat itu masih berstatus Perusahaan Umum Listrik Negara ditetapkan sebagai PKUK. PLN selaku PKUK berkewajiban menjamin kecukupan pasokan tenaga listrik.

 

Namun, Koordinator Divisi Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas menegaskan dalam prakteknya semua ketentuan dalam kedua peraturan tersebut tidak terjadi. Tidak adanya dukungan dari pemerintah terhadap penyediaan energi listrik nasional, dalam hal ini ketersediaan bahan bakar berupa gas, batu bara, dan sebagainya, malah membuat biaya pokok produksi atau harga per kwh yang ditanggung konsumen menjadi tinggi.

 

Permasalahan lainnya, kata Firdaus, ada di internal PLN sendiri, baik dari direksi, manajemen hingga ke general manager per wilayah sampai staf dibawahnya. Menurutnya manajemen penyedia bahan bakar listrik di PLN tidak dikelola dengan baik sehingga muncul praktek-praktek penyimpangan yang membuat biaya pokok produksi menjadi tinggi alias boros. “Dua hal ini yang memunculkan pertanyaan kenapa kita tidak bisa menigkatkan rasio kebutuhan listrik, kenapa kita tidak bisa memberikan jaminan penyiapan suku cadang. Ini merupakan PR pemerintah,” katanya.

 

Firdaus tak memungkiri harus ada reformasi di jajaran direksi PLN untuk menghentikan pemborosan di tubuh BUMN listrik tersebut. Sebab, berdasarkan data ICW selama 2002 hingga 2008, PLN telah memboroskan biaya produksi listrik Rp158,557 triliun atau Rp22,651 triliun per tahun. Angka tersebut merupakan selisih dari kebutuhan BBM atau gas untuk memproduksi dengan harga BBM atau gas di pasaran.

 

Soal munculnya nama Dahlan Iskan sebagai pengganti Fahmi Mochtar, Firdaus enggan berkomentar. Dia menolak menyebutkan siapa sosok yang layak untuk mengisi posisi direksi di PLN. Namun, Firdaus menilai siapapun yang dipilih harus orang yang memiliki integritas, profesionalitas, dan kesungguhan bekerja. “Ia juga harus memahami bisnis listrik PLN dan juga berani menghapuskan praktek rente dan memutus relasi politik bisnis dalam pengelolaan listrik,” tandasnya.

 

Sekilas analisis Firdaus mungkin bisa menjadi gambaran bagi Dahlan mengenai apa saja yang harus dibenahi dalam persoalan listrik di tanah air, jika dirinya terpilih menjadi Dirut PLN. Modal sebagai bos di media tentu belum cukup tanpa menyelami seluk beluk bisnis listrik serta pengelolaannya. Kendati demikian, keberaniannya menerima tantangan ini perlu diacungi jempol.

Tags:

Berita Terkait