'Curhat' Sebelum Menggugat
Advokasi Perempuan

'Curhat' Sebelum Menggugat

Di daerah tertentu, hukum adat tidak berpihak kepada kesetaraan lelaki-perempuan. Sementara itu, pengadilan kurang bisa diandalkan karena terbentur biaya.

Her
Bacaan 2 Menit

 

Raeni berkesimpulan, perempuan di tempatnya menjadi tak berdaya lantaran budaya yang patriarkis. Ia dan rekan-rekannya sering mengadakan dialog dengan berbagai kalangan, namun hasilnya belum terlihat. Kendalanya ada pada budaya yang sulit diterobos, tandasnya.

 

Pengadilan, imbuh Raeni, sebenarnya bisa dijadikan tempat berlabuh bagi perempuan yang hak-haknya diabaikan. Hanya, untuk ke pengadilan dibutuhkan biaya yang tak kecil padahal masyarakat di tempatnya kebanyakan miskin. Pengadilan jaraknya jauh. Kami tidak punya biaya dan tidak tahu caranya berperkara. Jadi ada jarak geografis dan jarak psikis, imbuh Raeni.

 

Menanggapi persoalan ini, Sekretaris Dirjen Badilag Farid Ismail menyatakan, laki-laki dan perempuan dalam hukum Islam sama-sama mendapat warisan. Yang berbeda hanya kadarnya. Soal ini sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

 

MA pernah membuat putusan yang menyatakan hak waris seorang paman tertutup oleh anak perempuan, kata Farid. MA melakukan penemuan hukum ketika membuat putusan itu. Sebab, selama ini banyak pendapat yang menyatakan hak waris perempuan tertutup oleh pamannya.

 

Tapi Farid memahami, hukum adat di NTB memang tak sepenuhnya selaras dengan hukum Islam yang diterapkan di Indonesia. Tidak gampang Untuk melakukan sinkronisasi, sebab hukum adat di sana dikawal oleh Tuan Guru. Peran Tuan Guru di NTB memang kuat, tapi kalau diberikan penyuluhan hukum secara terus-menerus Insya Allah bisa, ujarnya.

 

Untuk meringankan biaya masyarakat yang ingin berperkara, kata Farid, sejumlah PA di daerah menggelar sidang keliling. Untuk sidang keliling, di Jambi dan Riau sudah dibantu Pemda, tapi di NTB belum, padahal umat Islamnya banyak, tuturnya.

 

Dalam pertemuan ini, tak hanya 'curhat' tentang warisan, anggota PEKKA juga mencurahkan pengalaman dan pandangannya soal poligami, nikah sirri, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kawin beda agama. Kepada mereka, Badilag membagikan buku KHI dan leaflet tentang prosedur dan proses berperkara di PA.

Tags: