Ia mengaku telah mengirim pesan singkat kpada Prof. Moh Mahfud MD bahwa pernyataannya yang dikutip sejumlah mediamungkin terbawa arus pemahaman wartawan yang salah tafsir atas permohonan CSSUI ini. “Beliau tidak jawab sih, tetapi yang terpenting kita sudah beritahu yang benar. Sampai ada lawyer senior bete sama saya, katanya saya sekarang enggak prodemokrasi,” kata Dosen FHUI ini.
Sebelumnnya, pengurus Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) mempersoalkan aturan periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi per lima tahun selama dua periode dan masa jabatan pimpinan MK per tiga tahun lewat uji materi Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK. Aturan ini dianggap diskriminatif karena kedudukan hakim di lembaga peradilan manapun seharusnya tidak mengenal periodeisasi masa jabatan.
Mereka membandingkan dengan masa jabatan hakim agung dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA). Dalam UU MA, masa jabatan hakim agung atau pimpinan MA diberhentikan dengan hormat ketika memasuki usia pensiun 70 tahun tanpa periodeisasi lima tahunan. Menurutnya, munculnya Pasal 22 UU MK tak terlepas dari kepentingan politik karena UU MK merupakan produk politik hukum negara.
Bagi Pemohon norma tersebut mengandung pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Aturan ini setidaknya potensial membatasi MK dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Karena itu, Pemohon berharap kedua pasal tersebut dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.
Aturan yang sama juga dimohonkan pengujian Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi yang memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1 sampai angka 4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK terkait periodeisasi masa jabatan hakim MK dan pimpinan MK. Khusus Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK, Para Pemohon meminta ada persamaan masa jabatan hakim konstitusi dan pimpinan MK dengan masa jabatan hakim agung dan pimpinan MA. Kedua permohonan ini tinggal menunggu putusan.
bangetngawur bangetTidak ada permohonan yang meminta hakim MK seumur hidup,” ujar Direktur Litbang CSSUI, Dian Puji N Simatupang saat dikonfirmasi, Rabu (30/11).
Isu ini berawal pemberitaan sebuah situs berita online berjudulNursyahbanresmi menjadi Pihak TerkaitBahkan, mantan Ketua MK Moh. Mahfud MD berkomentar kritis atas isu tersebut.
Dian menegaskan uji materi yang dilayangkan CSSUI ini sama sekali tidak menyinggung keinginan agar masa jabatan hakim konstitusi seumur hidup. Hal ini bisa dilihat dari materi permohonan dan risalah sidang di website MK. Bahkan, keteranganJika RUU Jabatan Hakim Disahkan, Hakim Bukan ‘Monopoli’ MA
“Ini ngawur-nya nggak ketulungan, lucunya isu ini dikutip media sekelas Kompas tanpa konfimasi lagi. Kemudian diiyakan para aktivis dalam pernyataannya. Ini bisa baca risalah tentang pengujian ini di website MK, di situ terbaca jelas nggak ada petitum minta masa jabatan hakim MK seumur hidup,” tegasnya.
Dian Puji melanjutkan dalam permohonannya, CSSUI mempertanyakan benarkah MK dan MA memiliki karakter yang berbeda. Padahal, kedua lembaga sama-sama menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang membedakan hanya wewenangnya. Selain itu, CSSUI tetap meminta agar prosedur syarat sistem pengisian dan pemilihan hakim dan pimpinan MK tetap terbuka, transparan, dan akuntabel.
“Makanya, kita hanya minta tidak lagi mengangkat masa jabatan hakim konstitusi per lima tahun dan dipilih kembali, tetapi dipilih sampai usia pensiun (70 tahun) seperti masa jabatan hakim agung di MA. Ini agar ada kesamaan di hadapan hukum. Itu aja.” (Baca juga: Baleg Diminta Segera Sinkronisasi RUU Jabatan Hakim).