Covid-19 Ancam Perekonomian Nasional, Negara Tak dalam Keadaan Bahaya?
Utama

Covid-19 Ancam Perekonomian Nasional, Negara Tak dalam Keadaan Bahaya?

Sampai saat ini Pasal 12 UUD 1945 hanya diturunkan dalam Perppu Keadaan Bahaya.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembagian masker karena penyebaran virus corona. Foto: RES
Ilustrasi pembagian masker karena penyebaran virus corona. Foto: RES

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Judul Perppu ini begitu jelas untuk mengatasi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Apakah Indonesia sedang dalam keadaan bahaya seperti dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945?

“Paling mudah lihat saja pada bagian mengingat apakah merujuk Pasal 12 UUD 1945 atau tidak,” kata Fitra Arsil, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Pasal yang ia maksud berbunyi Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Bunyi teks pasal ini masih sama dengan versi sebelum konstitusi mengalami amandemen di era reformasi. Para ahli hukum tata negara biasa menyandingkannya dengan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi:  “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Fitra menyebut kedua pasal ini sebagai pijakan untuk mengambil langkah di kondisi darurat. Hanya saja ia menilai level darurat dari kedua pasal itu berbeda. Pendapatnya mengacu pada praktik penggunaan kedua pasal itu. “Nah hal ihwal ‘kegentingan yang memaksa’ ini tidak selalu mengenai ‘keadaan bahaya’. Memang bisa karena ada keadaan bahaya menjadi dasar ‘kegentingan yang memaksa’,” ujarnya.

Ia mencontohkan Perppu di masa Presiden SBY yang kerap kali menggunakan ukuran ‘kegentingan yang memaksa’ yang sangat subjektif Presiden.  “Persoalan mencoblos hanya boleh satu kali di surat suara saja sampai menerbitkan Perppu karena kondisinya mepet dengan waktu pemilihan umum,” katanya.

Perppu yang dimaksud adalah Perppu No.1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya Perppu ini diterima parlemen dan disahkan menjadi undang-undang.

(Baca juga: Inilah Daftar Perppu di Era Presiden SBY).

Subjektivitas Presiden

Atas dasar itu Fitra menyebut ‘keadaan bahaya’ dalam pasal 12 UUD 1945 tidak identik dengan ‘kegentingan yang memaksa’ dalam pasal 22. Apalagi Mahkamah Konstitusi pernah menafsirkan lebih jauh soal kriteria ‘kegentingan yang memaksa’ tanpa menyinggung soal ‘keadaan bahaya’.

Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 disebutnya sebagai satu-satunya penjelasan kategori ‘kegentingan yang memaksa’. Mahkamah Konstitusi tampak membedakan antara ‘kegentingan yang memaksa’ dalam pasal 22 UUD 1945 dengan ‘keadaan bahaya’ dalam  Pasal 12 UUD 1945.

“Mengaktifkan ‘keadaan bahaya’ dalam Pasal 12 UUD 1945 artinya Presiden jadi memiliki kekuasaan luar biasa. Boleh menyimpangi tatanan hukum yang normal,” kata Fitra. Bisa dikatakan serta merta berlaku rezim hukum darurat menggantikan rezim hukum normal.

(Baca juga: Tafsir ‘Kegentingan yang Memaksa’ Masih Bisa Berubah).

Cara mengaktifkan keadaan tersebut saat ini dikunci dalam Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-undang No.74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya (Perppu Keadaan Bahaya). Hanya status darurat dalam Perppu ini yang mengaktifkan rezim hukum darurat.

Level darurat selain dalam Perppu itu harus tetap tunduk pada prosedur hukum secara normal. Artinya, negara masih belum dikatakan dalam keadaan bahaya sesuai UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Integrasi Kriteria ‘Keadaan Bahaya’

Sudut pandang itu dinilai bermasalah oleh Charles Simabura, dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas. Ia menilai perkembangan substansi ‘keadaan bahaya’ sudah terwujud dalam berbagai regulasi baru.

Misalnya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana) dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan). Bahkan Charles juga melihat ada substansi ‘keadaan bahaya’  dalam Perppu terbaru tentang stabilitas sistem keuangan untuk menangani Covid-19. “Di era Presiden SBY pernah ada Perppu serupa menghadapi krisis keuangan tahun 2008 meskipun akhirnya ditolak parlemen,” katanya.

Kala itu Presiden SBY menerbitkan Perppu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Bagian menimbang jelas-jelas menyebut Perppu itu sebagai upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Hanya saja pada bagian mengingat ternyata hanya merujuk dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 soal ‘kegentingan yang memaksa’.

UU Penanggulangan Bencana dan UU Karantina Kesehatan pun tidak merujuk pasal 12 UUD 1945 tentang ‘keadaan bahaya’. Kedua undang-undang itu hanya merujuk kewenangan pembentukan undang-undang. Charles melihat kondisi ini perlu menjadi perhatian serius.

Perincian ‘keadaan bahaya’ di Perppu Keadaan Bahaya terlalu condong pada ancaman pertahanan dan keamanan. Padahal kondisi membahayakan perekonomian nasional telah membuat dua Presiden RI menerbitkan Perppu khusus. Pun kondisi pandemi seperti Covid-19 ternyata tidak hanya mengancam keselamatan nyawa rakyat. Kesejahteraan rakyat luas juga terancam akibat terganggunya perekonomian nasional.

“Keadaan bahaya itu harusnya kita integrasikan kriteria dan cetak biru penanganannya,” ujar Charles. Kritik lainnya adalah penanganan darurat bencana dan darurat kesehatan masyarakat diserahkan pada Menteri sebagai koordinator. Meskipun dampaknya lintas sektor yang membutuhkan kepemimpinan langsung Presiden.

(Baca juga: Darurat Covid-19! Ayo Kenali Ragam Status Darurat dalam Hukum Indonesia Serta Dampaknya).

Fitra Arsil sepakat dengan kritik Charles itu. Terutama soal membentuk ulang cetak biru ‘keadaan bahaya’ serta cara penanganannya. “Perlu ada kajian rezim hukum darurat yang lebih komprehensif,” ujarnya.

Ia merujuk fakta Perppu Keadaan Bahaya ternyata juga menyebut kondisi bencana alam sebagai alasan mengaktifkan ‘keadaan bahaya’. “Perppu Keadaan Bahaya dan undang-undang soal kondisi darurat yang lain punya asbabun nuzul masing-masing. Perlu ditinjau ulang agar menghasilkan kebijakan yang tepat untuk situasi terbaru,” katanya.

Terlepas dikualifikasikan ‘keadaan bahaya’ atau tidak, Fitra setuju bahwa penanganan berbagai kondisi darurat nasional harus dipimpin Presiden. “Harusnya langsung oleh Kepala Negara. Pun jangan diserahkan kepada Kepala Daerah,” Fitra menambahkan.

Tags:

Berita Terkait