Cost Recovery Tak Transparan Berpotensi Rugikan Negara
Berita

Cost Recovery Tak Transparan Berpotensi Rugikan Negara

Seharusnya perusahaan ekstraktif memenuhi pelaporan EITI.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: pwyp-indonesia.org
Foto: pwyp-indonesia.org
Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung dalam Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengungkapkan bahwa industri ekstraktif di Indonesia masih belum transparan. Pasalnya, masih banyak perusahaan di sektor migas maupun pertambangan yang tidak patuh dengan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Padahal, EITI merupakan standar internasional tentang pelaporan penerimaan negara dari industri ekstraktif.

Koordinator PWYP, Maryati Abdullah, mengatakan seharusnya perusahaan ekstraktif memenuhi pelaporan EITI. Sebab, industri tersebut dalam prosesnya tidak hanya melibatkan pelaku bisnis, tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, harus ada transparansi terkait penerimaan negara dan pembayaran perusahaan di sektor itu.

“EITI memiliki tujuan untuk memperbaiki tata kelola sektor migas dan pertambangan sehingga harus ada tindakan kongkrit setelah adanya laporan tersebut. Masalahnya, masih banyak perusahaan yang tidak patuh,” tuturnya, Senin (30/11).

Hal krusial yang masuk dalam laporan EITI antara lain jumlah lifting dan cost recovery. Menurut Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, selama ini masyarakat tidak mengetahui secara pasti terkait dua hal itu. Akibatnya, dalam laporan EITI terdahulu tahun 2009 ada selisih hampir AS$ 30 juta antara lifting yang dikeluarkan perusahaan dan yang diterima negara.

Selain itu, terkait cost recovery, menurut Aryanto, tak ada jumlah yang diketahui masyarakat secar transparan. Padahal, hal itu penting untuk diketahui terutama masyarakat di sekitar area penambangan. Ia berharap cost recovery dapat dibuka kepada publik.

“Masyarakat sipil yang berada di daerah telah memberi masukan agar cost recovery bisa dibuka. Kami berharap DPD maupun DPR bisa menindaklajutinya,” ujar Aryanto.

Aryanto menuturkan bahwa perhitungan yang tak akuntabel dan transparan bisa berpotensi menimbulkan kerugian negara. Sebab, di tengah produksi yang terus menurun ia mempertanyakan cost recovery yang justru meningkat. Ia berharap pemerintah mau membuka komponen apa saja yang masuk dalam perhitungannya.

“Jadi harus jelas komponen-komponen mana saja yang bisa diganti oleh negara,” tuturnya.

Untuk diketahui, cost recovery merupakan pengembalian modal awal yang digunakan sebagai biaya operasi. Sebenarnya, istilah cost recovery tidak tertulis secara tegas di dalam kontrak kerja sama. Klausul yang disepakati dalam kontrak hanya menyebutkan, kontraktor akan memperoleh kembali penggantian atas biaya operasi yang diambilkan dari hasil penjualan atau penyerahan lainnya dari jumlah minyak dan gas bumi senilai dengan biaya operasi yang sudah dikeluarkan. Frasa mengenai penggantian biaya operasi tersebut yang didefinisikan sebagai cost recovery

Menurut Kepala Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Amien Sunaryadi, besaran cost recovery tersebut masih terus mengalami peningkatan sejak tahun 2010. Padahal, produksi minyak terus mengalami penurunan. Ia pun mengakui besarnya cost recovery tahun ini memang tidak sebesar tahun lalu yang mencapai di atas AS$ 16 miliar. Namun, ia mengklaim bahwa aktivitas operasi dan eksploitasi Migas lebih giat dilakukan demi mencukupi kebutuhan energi pada masa yang akan mendatang.

Menurut Amien, serapan cost recovery tahun ini masih didominasi dan dialokasikan untuk mendukung aktivitas operasi berikut kegiatan eksplorasi. Ia merinci cost recovery untuk mendukung kegiatan produksi mencapai lebih dari separuh. Sedangkan untuk kegiatan eksplorasi hamper sepertiga. Di luar itu, ada alokasi untuk pos depresiasi sekitar 20 persen, administrasi 8 persen, kredit investasi sekitar 3 persen dan dikurangi unrecovered cost ebesar 7 persen.

"Tapi angka ini baru perkiraan, karena kami masih finalisasi angka akhir," jelas Amien.

Amien pun mengatakan, pada tahun ini kemungkinan cost recovery yang terserap lebih rendah sekitar 12% dari tahun lalu. Namun menurutnya, hal itu tergantung pada perhitungan nanti. Ia menyebut, saat ini pihaknya memproyeksikan penyerapan hanya pada titik sekitar 97%.

"Bisa dilihat kalau dulu penyerapan 100 persen dari proyeksi, turun sedikit jadi 91 persen dan 89 persen. Kalau sekarang diperkirakan 97 persen," kata Amien.
Tags:

Berita Terkait