Cost Recovery Diusulkan Dihapus dari RUU Migas
Berita

Cost Recovery Diusulkan Dihapus dari RUU Migas

Sistem cost recovery sulit dilakukan.

FNH
Bacaan 2 Menit
Ekonom Faisal Basri. Foto: Sgp
Ekonom Faisal Basri. Foto: Sgp

Cost Recovery diusulkan dihapuskan dari RUU Minyak dan Gas (Migas). Hal ini disampaikan oleh Ekonom Faisal Basri dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR di Komplek Senayan, Jakarta, Rabu (23/1). Menurutnya, cost recovery tidak perlu dicantumkan dalam Revisi UU Migas karena sistem cost recovery sulit dilakukan.

"Cost recovery tidak perlu dicantumkan dalam revisi UU Migas," kata Faisal Basri.

Faisal menilai sistem cost recovery rumit dilakukan karena negara terlalu ikut campur terhadap persoalan bisnis Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Jika terjadi peningkatan pada cost recovery, negara dipastikan akan kalangkabut. Untuk itu, cost recovery harus dikeluarkan dari RUU Migas.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah jika cost recovery dihapuskan adalah dengan mempertegas jatah keuntungan eksplorasi Migas menjadi 65 persen. Sehingga, lanjutnya, apapun dan berapapun biaya yang dikeluarkan, pemerintah cukup mengambil keuntungan sebesar 65 persen tanpa perlu pemotongan cost recovery.

"Apapun dan berapapun ongkosnya, jatah pemerintahnya harus 65 persen jadi tidak perlu lagi dipotong cost recovery," tegasnya.

Selain itu, Faisal juga mengusulkan tiga model pengaturan minyak. Salah satunya seperti yang diterapkan rezim saat ini yang menempatkan government policy di Kementerian ESDM serta ada regulator yang memastikan agar goverment policy tersebut  berjalan.

Tiga model tersebut adalah, model pertama: Policy, Regulator kemudian Pertamina. Ini sesuai dengan UU No. 8Tahun 1971 tentang Pertamina. Model ini menempatkan regulator dan operator dalam satu atap yaitu di Pertamina.

Kedua, model yang diterapkan rezim sekarang yang menempatkan government policy di ESDM dan ada regulator yang memastikan agar goverment policy berjalan. Implementasi di Indonesia dibentuk BP Migas yang dibatalkan oleh MK.

Model ketiga adalah menempatkan regulator dan policy maker dalam satu atap. Ini juga dipraktikkan di Indonesia saat ini. Dalam konteks tiga model ini, lanjut Faisal, Indonesia perlu memilih salah satunya saja. Beberapa negara yang menerapkan salah satu dari model ini terbukti berhasil meskipun pada model kedua implikasinya abuse of power tetapi India dan Timor Leste berhasil melakukan hal tersebut.

Persoalannya, Faisal sendiri mengaku gamang ketika model ini suatu waktu bisa terbentur dinding Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, dengan alasan-alasan tertentu dan dianggap tidak sesuai dengan konstitusi MK membubarkan layaknya BP Migas.

"Saya juga jadi gamang kalau harus sesuai dengan keinginan MK, misalnya. Kita harus menghormati keputusan hukum tetapi secara akal sehat kita nggak terima jadinya susah,” ujar Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.

Dia mencontohkan konsep inefisiensi. Inefesiensi selama ini dianggap melanggar konstitusi. Misalkan AC DPR tidak berfungsi dan menghasilkan inefesiensi, apakah DPR harus dibubarkan layaknya BP Migas? 

“Ngeri, ini  interpretasinya tanpa batas.Jangan-jangan MK-nya juga nggak efisien. Gimana kalau begitu? Karena seperti itu kita terbelenggu untuk melakukan hal terbaik untuk bangsa," tegasnya.

Sementara itu, mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie,juga memberikan masukan kepada Komisi VII DPR soal revisi UU Migas. Pada kesempatan tersebut, Jimly mengusulkan beberapa bentuk lembaga pengelola migas di Indonesia yang sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.

“Bentuknya bisa bentuk dari badan usaha baru atau badan usaha lama yang di revitalisasi atau ada badan usaha tersendiri khusus untuk urusan perizinan dan tidak operasional,” papar Jimly.

Menurutnya, ada fungsi yang dapat dimainkan oleh lembaga baru agar nantinya tidak menduplikasi Pertamina atau Badan Usaha sejenisnya, tetapi cukup menjadi instrumen pemerintah atau instrumen bisnisnya pemerintah yang berhadapan dengan korporasi. Bisa semacam pemegang kekuasaan pertambangan atau pengembangan aset.

Sebagai badan usaha, lanjut Jimly, harus mempunyai aset dan modal tetapi berbentuk perusahaan terbatas yang sepenuhnya dimiliki oleh negara. Dia menambahkan, ide BHMN itu sebenarnya sudah tidak ada dalam UU tetapi sebagai ide patut dipertimbangkan.

Tags: