Corporate Social Responsibility
Kolom

Corporate Social Responsibility

Wilshire Associates adalah sebuah konsultan investasi di Amerika yang pada 22 Februari 2002 memberikan rekomendasi kepada kliennya California Public Employees' Retirement System's (CalPERS) agar menarik semua investasinya dari Indonesia, Malaysia, Thailand dan Philipina.

Bacaan 2 Menit
Corporate Social Responsibility
Hukumonline

CalPERS adalah sebuah perusahaan dana pensiun raksasa yang memiliki dana sebesar AS$170 miliar yang merupakan tabungan dana pensiun para pekerja di negara bagian California. Rekomendasi konsultan tersebut didasarkan pada penilaian terhadap keempat negara tersebut dalam tiga hal yang dianggap sebagai faktor yang "demokratis", yaitu: transparansi, stabilitas politik, dan perlakuan terhadap para pekerja.

Reaksi positif dari CalPERS terhadap rekomendasi tersebut telah menimbulkan sebuah perdebatan baru. Apakah isu-isu yang biasanya diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat ethics tersebut akan berdampak positif pada negara-negara di atas? Kalau begitu, apakah yang sebenarnya yang menjadi kunci sebuah perubahan (baca: pembangunan) apakah pergerakan gelombang modal akan mempercepat atau malah semakin memperlambat proses tersebut.

Terlepas dari apapun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, ada satu hal yang hampir luput dari perhatian kita semua, yaitu perilaku investor asing yang semakin sensitif terhadap isu corporate social responsibility. Suatu hal yang nyaris terlupakan di tengah pergolakan perekonomian nasional yang tak kunjung membaik.  Penyelesaian kasus BLBI yang terkatung-katung tentunya akan lebih menarik ketimbang bicara mengenai corporate social responsibility.

Corporate social responsibility dan corporate governance

Corporate social responsibility sebagaimana halnya dengan corporate governance memberikan suatu penilaian atau bahkan value tersendiri bagi seorang investor (baca: investor asing) untuk menanamkan modalnya di suatu perusahaan. Kita tentunya masih ingat terhadap hasil survei dari McKinsey pada 2000 yang dilakukan terhadap institusional investor.

Ternyata, 82% dari mereka telah menanamkan modalnya di Asia dan diperkirakan memiliki asset under management sebesar AS$ 1,050 milyar. Hasil survei tersebut menyebutkan bahwa para institusional investor tersebut berani membayar premi rata-rata sebesar 27,1% apabila perusahaan-perusahaan di Indonesia mempraktekkan corporate governance (a well-governed company).

Corporate social responsibility memiliki cakupan makna yang agak berbeda dengan corporate governance. Corporate governance dianggap sebagai shareholders-driven yang menekankan pada pengungkapan informasi (disclosure) laporan perusahaan, struktur, dan kinerja dewan komisaris beserta direksi dan perlakuan terhadap pemegang saham (shareholders). Sementara itu corporate social responsibility dianggap sebagai stakeholders-driven atau yang lebih dikenal dengan "triple bottom line".

Tanggung jawab perusahaan tidak hanya kepada pemegang saham

"Triple bottom line" adalah suatu pendekatan yang menarik dalam melakukan penilaian perusahaan. "Bottom line" pertama adalah pertumbuhan perusahaan yang dilihat dari aspek keuangannya. "Bottom line" yang kedua adalah tanggungjawab perusahaan terhadap lingkungan. Sedangkan yang ketiga adalah tanggungjawab perusahaan pada komunitas.

"Triple bottom line" inilah yang sebenarnya memaknai frase kinerja perusahaan yang pada suatu masa direduksi maknanya menjadi kinerja keuangan perusahaan (single bottom line). Pada zaman ini, para akuntan perusahaan sibuk melakukan "re-engineering" (baca: window dressing) laporan keuangan yang nantinya akan diberi opini "wajar tanpa pengecualian" oleh akuntan publik agar mendapatkan penghargaan dari para pemegang saham sebagaimana halnya ketika mereka mendapatkan BLBI juga atas jasa akuntan publik yang telah memberikan opini "wajar tanpa pengecualian". Sebuah opini yang memiliki tempat terhormat di bidang auditing yang telah memberikan kontribusi cukup besar pada krisis ekonomi dan keuangan di Indonesia.

Cara lain untuk mempercantik kinerja keuangan perusahaan adalah dengan melakukan externalizing cost. Perusahaan tidak mau mengolah limbahnya terlebih dahulu sampai aman ketika dibuang, tetapi membuangnya secara langsung ke sungai atau ke udara.

Laporan kinerja keuangan perusahaan akan menampakkan hasil yang baik karena perusahaan beroperasi secara efisien. Ongkos pembuangan limbah ditekan sedemikian rendah bahkan nol. Namun, pada kenyataannya, masyarakat sekitar lokasi pabrik yang harus menanggung cost tersebut. Masyarakatlah yang harus membayar mahal ongkos yang diakibatkan oleh polutan pabrik.

Masih dalam kategori ini adalah perusahaan angkutan yang tidak mau keluar ongkos untuk memperbarui armada angkutannya, sehingga mengakibatkan polusi yang cukup hebat di suatu kota. Atau bahkan, perusahaan angkutan peti kemas yang membangun pangkalan di sekitar pemukiman perumahan tanpa menghiraukan efek samping berupa banjir yang ditimbulkannya.

Ketika kita bicara "bottom line" ketiga yaitu tanggung jawab perusahaan pada komunitas, saya teringat akan salah satu program corporate social responsibility dari Westpac Bank, salah satu bank terbesar di Australia yang memiliki program "voluntary". Mereka membayar karyawan-karyawannya secara penuh ketika para karyawan tersebut sedang tidak bekerja untuk Westpac Bank, tetapi pada saat para karyawan tersebut sedang terlibat di salah satu program pembangunan komunitas.

Tanggung jawab sosial tersebut juga diwujudkan dengan mengadakan pelatihan dan pendidikan serta pengembangan kesehatan pada suku asli Aboriginal dan Torres Strait Islander.  Pada saat itu saya juga teringat di sebuah belahan bumi di sana, sebuah perusahaan pertambangan raksasa barangkali masih melakukan pengusiran dan intimidasi terhadap komunitas suku asli dengan bantuan angkatan bersenjata setempat.

Teman saya, seorang mahasiswa kehutanan yang berasal dari belahan bumi tersebut menceritakan bahwa tidak ada yang didapatkan oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan-perusahaan yang berada di sana kecuali kemiskinan dan air sungai yang semakin keruh warnanya. Bahkan, air bah yang terjadi di tengah hutan pada saat hujan akibat penebangan hutan yang membabi-buta yang dilakukan para pengusaha yang memiliki hak "istimewa" yang bernama HPH.

Cerita di atas adalah sebagian dari contoh-contoh yang menggambarkan betapa rendahnya tanggung jawab perusahaan pada lingkungan dan komunitas di samping contoh-contoh yang tidak baik lainnya seperti membayar upah karyawan di bawah UMR, diskriminasi di tempat kerja, tidak adanya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, memproduksi hal-hal yang menimbulkan masalah sosial, seperti: minuman yang mengandung alkohol, rokok dan peralatan judi.

Penggerak atau penghambat pembangunan

Pada akhirnya, kita memang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi apakah pergerakan gelombang modal yang di-drive oleh corporate social responsibility ini merupakan kunci penggerak pembangunan di sektor swasta atau malah menghambatnya.

Mungkin jawaban dari Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998, di bukunya "Development as Freedom" mencerahkan kita bahwa pembangunan bukanlah sederetan angka-angka yang menjabarkan suatu indikator tertentu. Akan tetapi, pembangunan pada akhirnya adalah suatu proses yang "membebaskan" masyarakat, yang membebaskan masyarakat untuk berdemokrasi, untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak, terjamin hak-hak asasinya, serta terbebas dari kemiskinan yang membelengunya.

 

Ary Nugroho adalah Australia-Indonesia Merdeka Fellow 2001-2002 di bidang Corporate Governance

 

Tags: