Corporate Lawyer Ini Kritik Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum
Utama

Corporate Lawyer Ini Kritik Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum

Associate Ginting & Reksodiputro Law Firm ini menilai kurikulum Fakultas Hukum yang dipandang belum match antara pembelajaran perkuliahan dengan kebutuhan praktik. Sebelumnya, Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra juga pernah menyampaikan kritik atas kurikulum FH di Indonesia.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Karena, menurut dia, mengenai seorang mahasiswa hendak mengikuti organisasi atau tidak tetap merupakan persoalan yang dikembalikan kepada masing-masing individu. Namun ketika mahasiswa menjadi pelajar di Fakultas Hukum, seharusnya mereka juga dapat memperoleh pemahaman cara pengimplementasian ilmu yang telah didapat secara teoritis.

“Kalau dilihat dari komentar di Twitter juga banyak yang setuju (dengan cuitan saya), berarti terdapat suatu hal yang salah dengan sistem kurikulum kita. Yang mana salahnya mungkin tidak hanya dari fakultas saja, tapi juga dari mahasiswanya.”

Dia melihat penyempurnaan kurikulum Fakultas Hukum penting dilakukan agar lebih kontekstual. Bukan hanya kontekstual dalam hal teori saja, namun juga terpakai dalam praktik. Karena kemampuan seorang Sarjana Hukum akan sangat penting dengan persaingan yang akan dihadapi, bukan lagi sebatas antar Fakultas Hukum dalam negeri, tetapi sudah pada tingkat internasional.

“Begitu penting kurikulum, bagaimana cara anak hukum ini bisa berkompetisi secara internasional sebagai human capital yang baik,” kata dia.

Aga menambahkan untuk tidak terkukung dengan eksklusivitas hukum Indonesia, mahasiswa hukum sepatutnya memahami hukum asing dalam era yang “serba terbuka” seperti sekarang. Untuk menghadapi itu semua, dia berpesan untuk para mahasiswa Fakultas Hukum untuk giat mencari kesempatan magang. Disamping itu juga perlu lebih memperluas cakrawala keilmuan dan tidak hanya mempelajari hukum saja, bidang keilmuan lainnya turut menjadi penting.

“Tetapi tetap diingat bahwa ada hukum dasar yang harus menjadi fondasi. Jangan sampai fokus dengan sesuatu yang sedang menjadi tren, tapi lupa (luput) dengan dasarnya bagaimana,” tutupnya.

Untuk diketahui, sebelumnya Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra dalam pemaparan materi bertemakan “Legal Education for the Rule of Law” di Seminar Pendidikan Hukum dan Jejaring Pendidikan Hukum, Selasa (18/1/2022) sempat mengkritik kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia yang dipandang tidak memiliki ketersambungan antara ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi dengan kebutuhan hukum itu sendiri.

Dia memahami akan menyeimbangkan antara apa yang dipelajari mahasiswa Fakultas Hukum dengan kebutuhan hukum di masyarakat merupakan suatu pekerjaan rumah yang sulit. Mengingat kurikulum bergerak sangat lambat, berbanding terbalik dengan kebutuhan hukum di masyarakat yang tiada hentinya bergerak cepat. Belum lagi untuk menjawab kebutuhan praktik membutuhkan proses jauh lebih lama.

“Bagi saya sekarang, jika ditanya bagaimana pendidikan hukum Indonesia? Jawabannya, kita masih harus membenahi beberapa hal agar pendidikan hukum kita itu bisa menjadi bagian terdepan untuk mempertahankan negara hukum itu sendiri. Salah satunya dengan mendesain kurikulum pendidikan tinggi hukum ke depan,” terang Saldi Selasa (18/1/2022) lalu.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu berpesan jika hendak “berinvestasi” untuk memperbaiki penegakan hukum ke depan, maka perlu dilakukan sejak awal dengan pendidikan hukum. Fakultas Hukum tidak perlu menerima terlalu banyak mahasiswa hukum agar Pendidikan tinggi hukum akan memiliki kesempatan yang lebih “paripurna” untuk memberi bekal kepada mahasiswanya.

Tags:

Berita Terkait