CILC Gelar Pelatihan untuk Penguatan Sistem Alternatif Pemidanaan
Terbaru

CILC Gelar Pelatihan untuk Penguatan Sistem Alternatif Pemidanaan

Hal itu dilakukan dengan tujuan agar mengefektifkan penggunaan pidana alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan tak lagi hanya pada kasus dengan pelaku anak untuk menekan overcrowding di lembaga pemasyarakatan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Peserta pelatihan narasi baru dalam pemasyarakatan dan sanksi altenatif dalam peradilan pidana yang digelar Center for International Legal Cooperation (CILC). Foto: Istimewa
Peserta pelatihan narasi baru dalam pemasyarakatan dan sanksi altenatif dalam peradilan pidana yang digelar Center for International Legal Cooperation (CILC). Foto: Istimewa

Melalui NUFFIC yang dikelola Center for International Legal Cooperation (CILC), Pemerintah Belanda menyalurkan bantuan guna proyek pelatihan narasi baru dalam pemasyarakatan dan Sanksi Altenatif dalam peradilan pidana. Bantuan yang diberikan juga merupakan wujud dari kerja sama bilateral antara Indonesia-Belanda di bidang penguatan the Rule of Law.

"Kerja sama ini diawali oleh kunjungan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada tahun 2019 ke Belanda untuk mempelajari keberhasilan Belanda dalam mengatasi overcrowding penjara," ungkap Akademisi Hukum Pidana Indonesia dan Konsultan CILC, Fachrizal Afandi, dalam keterangan pers yang diterima Hukumonline, Jum'at (17/3/2023).

Kerja sama berlanjut di tahun 2020 dengan Dirjen pemasyarakatan Kemenkumham melalui kerja sama dengan Reclassering Belanda yang difasilitasi oleh CILC atas dukungan dana dari OKP plus Kedutaan Belanda di Indonesia. Pada 3 tahun terakhir, Reclassering (Badan Pemasyarakatan Belanda) juga mendapat bantuan Saxion University of Applied Sciences Belanda yang intensif melakukan pelatihan serta penguatan kapasitas Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK BAPAS) Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham.

Baca Juga:

Hal itu dilakukan dengan tujuan agar mengefektifkan penggunaan pidana alternatif dalam sistem peradilan pidana, dengan tak lagi hanya pada kasus dengan pelaku anak. Sejak 2020 lalu, pemerintah Indonesia juga mulai mempopulerkan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice yang salah satunya dimaksud dapat mengatasi overcrowding penjara dan beberapa alasan mendasar lainnya.

“Kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa peraturan kelembagaan, seperti Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kata Fachrizal.  

Di level Undang-Undang, kata dia, urgensi pelibatan PK Bapas dalam penerapan sanksi alternatif saat ini sudah tercantum secara tegas dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP, UU No.22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, dan juga UU No.11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.

Karena itu, digelar pelatihan tentang narasi baru sanksi pidana alternatif yang ditujukan bagi para Pembimbing Kemasyarakatan oleh Reclassering Belanda. Acara dilaksanakan secara langsung di Indonesia dan juga bakal diajak langsung untuk berkunjung ke Belanda dalam rangka melihat praktik alternatif pemidanaan yang digadang telah berhasil menekan overcrowding penjara Belanda.

Fachrizal melanjutkan proyek ini turut melibatkan kalangan akademisi hukum dari Indonesia. Akademisi melakukan pemetaan terhadap plus dan minus dari tiap peraturan internal mengenai alternatif pemidanaan. Khususnya dalam hal ini ialah penghentian perkara berdasarkan Keadilan Restoratif. “Salah satu kesimpulannya disebutkan perlu ada aturan payung dalam bentuk UU yang dapat mensinkronisasikan prosedur dan kewenangan masing-masing lembaga dalam penerapan keadilan restoratif yang betul-betul memperhatikan pemulihan kepada korban,” ujar dosen FH Universitas Brawijaya itu.

Berlangsung selama 3 hari, ajang tersebut diakhiri dengan rangkaian kegiatan roundtable discussion mengenai pentingnya pelibatan PK BAPAS dalam sanksi pidana alternatif dengan menghadirkan seluruh perwakilan aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan dan peradilan.

“Pimpinan delegasi Reclassering Belanda, Jochum Wilderman menyebut bahwa proyek ini tidak hanya bermanfaat untuk Indonesia. Namun juga untuk Belanda sebagai bentuk sharing pengalaman dan saling belajar dari kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kegiatan penutupan juga dilanjutkan dengan kunjungan ke Kejaksaan Agung untuk bertemu dengan pimpinan Kejaksaan dalam rangka mempromosikan hasil dari program ini," katanya.

Tags:

Berita Terkait