Chevron Indonesia Rugikan Negara
Utama

Chevron Indonesia Rugikan Negara

Dapat penghargaan dari KLH namun didakwa penuntut umum,

LEO WISNU SUSAPTO
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Tipikor mulai sidangkan kasus korupsi bioremediasi. Foto: Sgp
Pengadilan Tipikor mulai sidangkan kasus korupsi bioremediasi. Foto: Sgp

Operasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Riau mendapat penghargaan dari pemerintah pada 2012, belum lama ini. Yaitu meraih Proper Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bahwa operasi CPI ramah lingkungan.

Namun, penghargaan itu menjadi ironi. Lantaran Kejaksaan mendakwa Manajer Lingkungan Sumatera Light Operation (SLO) CPI Endah Rumbiyati, Team Leader Produksi di Sumatera Light South (SLS) Kukuh Kertasafari dan Team Leader Sumatera Light North (SLN), Widodo melakukan pidana korupsi.

Ketiganya didakwa melakukan tindak pidana korupsi seperti diatur dan diancam dalam dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu jo Pasal 64 KUHP. Serta dakwaan subsidair, Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu jo Pasal 64 KUHP. Terkait proyek bioremediasi SLS dan SLN.

Dakwaan ketiganya dibacakan dalam berkas terpisah oleh tim penuntut umum pada Kejaksaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/12). Giliran pertama mendengar dakwaan adalah Kukuh Kertasafari.

Tim penuntut umum menguraikan terdakwa pada September 2009 ditunjuk Manajer Produksi SLO CPI Ari Nugroho, menjadi koordinator tim penanganan isu sosial/lingkungan (Environmental Isues Settlement Team/EIST) SLS Minas PT CPI. Tugas tim tersebut diantaranya mengoordinir departemen di SLS tentang klaim tanah yang diduga terkontaminasi akibat kegiatan produksi masa lalu.

Periode Oktober 2009-2012, terdakwa menetapkan 28 lahan terkontaminasi minyak sebagai tanah terkontaminasi limbah minyak (COCS). Penetapan itu dilakukan tanpa pengujian secara benar terhadap konsentrasi tanah tercemar, Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) yang tidak sesuai dengan Kepmen LH No. 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis. Pada peraturan tersebut tertulis, konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis tidak lebih dari 15 persen.

Setelah penetapan 28 lokasi itu,  Kukuh menghubungi Herland, direktur PT Sumigita Jaya (PTSJ). Kemudian, bersama-sama Tim IMS-REM melakukan pembersihan/pengangkatan tanah menggunakan dump truck milik PTSJ dari beberapa sumber di tiga titik. Kemudian, PTSJ melakukan pekerjaan bioremediasi yang diperoleh dari CPI.

Namun, proyek tersebut seharusnya tak dilakukan. Hal itu diperkuat oleh pengujian sampling tanah terkontaminasi minyak bumi CPI, pada 25 Juli 2012 oleh tim ahli bioremediasi yaitu Edison Effendi, Bambang Iswanto, dan Prayitno dengan tiga cara.

Pertama pengujian TPH. Konsentrasi TPH sampel tanah yang oleh tim SLS disebut terpapar rata-rata 1,73 persen. Merujuk Kepmen LH 128 Tahun 2003, biormediasi dilakukan jika konsentrasi TPH berada pada kisaran 7,5-15 persen dengan standar hasil bioremediasi TPH kurang dari atau sama dengan satu persen.

Lalu, tim juga melakukan uji laboratorium dengan menggunakan mikroorganisme pada tanah terpapar minyak mentah. Didapatkan hasil tidak terjadi penurunan TPH dan tidak ditemukan mikroorganisme pendegradasi minyak. Jika bioremediasi dilakukan di tanah seperti itu, hasilnya nihil.

Pengujian tim dengan cara ketiga, menggunakan metode spreading area menggunakan alat tertentu. Hasilnya, TPH yang diperoleh sama dengan nol yang biasanya kurang dari atau sama dengan satu persen. Temuan tim menunjukkan bahwa tanah yang dijadikan sampel dinyatakan terpapar minyak mentah tidaklah benar.

Sedangkan Kukuh dan Herland tetap menjalankan proyek bioremediasi. “Padahal perusahaan Herland (PTSJ) tak memiliki kompetensi teknis mengelola limbah,” ujar penuntut umum Supracoyo.

Proyek itu dilaksanakan berdasarkan dua kontrak. Yaitu, kontrak senilai AS$6.248.852 untuk masa pengerjaan 1 September 2008 hingga 31 Agustus 2011. Kontrak ini diamandemen yang mengubah akhir masa kontrak yaitu 31 Desember 2011 dan mengubah nilai kontrak menjadi AS$6.872.982. Kontrak berikutnya untuk periode 14 November 2011 hingga 13 Mei 2012 senilai AS$741,402.

Menurut penuntut umum, Kukuh mengetahui izin CPI melaksanakan pekerjaan bioremediasi berakhir setelah penetapan 28 menjadi COCS. Bahkan terdakwa melaporkan pada Tim Teknis Penanganan Lahan Terkena Tumpahan Minyak Mentah yang dipimpin Endah Rumbiyanti, bahwa pekerjaan dilakukan dengan baik dan secara benar.

Laporan tersebut tidak ditindaklanjuti Endah dengan pemeriksaan lapangan. Alhasil, proyek yang diberikan PTSJ dinilai fiktif karena tidak ada pekerjaan namun tetap dibayar CPI.

Kejaksaan mencatat, proyek tersebut, semua biaya ganti rugi pembebasan tanah terkontaminasi dibebankan pada negara, melalui cost recovery sebesar Rp5,405.128.828. Hal itu tertuang dalam Production Sharing Contract (PSC) 15 Oktober 1992. Tersebut pembebanan cost recovery kegiatan bioremediasi termasuk dalam golongan biaya non capital, yaitu pembayaran seketika jika vendor atau rekanan sudah menerima pembayaran dari CPI.

Dakwaan penuntut umum langsung disambut Kukuh. Menurutnya, dia hanya menjadi koordinator tim lingkungan SLS. “Dan itu sebatas mengoordinir tim tersebut, dan saya tak kenal Herland,” ujarnya.

Penasihat hukum menyatakan, negara tidak membayar cost recovery dalam bentuk uang. “Namun, dalam bentuk natura hasil minyak mentah yang berhasil ditarik kemudian dibagi dengan anggota tim lain,” ungkap kuasa hukum Chevron,  Maqdir Ismail. 

Paragraf 18 tertulis:
Penasihat hukum menyatakan, negara tidak membayar cost recovery dalam bentuk uang. “Namun, dalam bentuk natura hasil minyak mentah yang berhasil ditarik kemudian dibagi dengan anggota tim lain,” ungkap kuasa hukum Chevron,  Maqdir Ismail. 

Yang benar:
Penasihat hukum menyatakan, negara tidak membayar cost recovery dalam bentuk uang. “Namun, dalam bentuk natura hasil minyak mentah, bukan uang,” ungkap kuasa hukum Chevron,  Maqdir Ismail. 

Tags:

Berita Terkait