Cermati Konsep Dasar Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dan Penyedia Jasa Pekerja
Outsourcing Berkeadilan

Cermati Konsep Dasar Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dan Penyedia Jasa Pekerja

Selain perjanjian pemborongan pekerjaan, outsourcing juga dapat dilakukan melalui peyerahan sebagian pekerjaan kepada Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja

M. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Istilah outsourcing sebenarnya tak disebut spesifik dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang dipakai adalah frasa ‘penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain’. Pasal 64 UU Ketenagakerjaan menyebutkan “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Dalam praktik, hubungan kerja semacam itulah yang dipahami sebagai outsourcing atau alih daya.

 

Ike Farida, advokat yang menulis disertasi tentang outsourcing yang berkeadilan tegas menyebut hubungan kerja semacam itu sebagai outrsourcing. “Penyerahan pekerjaan ini disebut outsourcing.” Ia juga menegaskan kalimat itu dalam bukunya ‘Perjanjian Perburuhan - Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Outsourcing’. Praktik outsourcing dilakukan atas dasar perjanjian kerjasama operasional antara perusahaan pemberi pekerjaan (user) dengan perusahaan penerima pekerjaan.

 

Lebih jauh, sistem kerja outsourcing dipandang perlu dalam dunia usaha karena sifatnya yang fleksibel dan lebih efisien. Dengan menyerahkan sebagian pekerjaan pendukung kepada perusahaan outsourcing yang ahli di bidangnya, maka perusahaan pemberi pekerjaan bisa lebih fokus pada bidang usaha utamanya (core business).

 

Merujuk pada rumusan Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, Hakim Mahkamah Konstitusi yang memutus perkara No. 27/PUU-IX/2011 membagi outsourcing ke dalam dua jenis. Yang pertama, outsourcing sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan; dan yang kedua, outsourcing penyedia jasa pekerja atau buruh. Yang pertama fokus pada pekerjaannya; sedangkan yang kedua fokus pada orangnya.

 

Pemborongan dalam KUH Perdata

Dalam praktik sehari-hari, perjanjian pemborongan pekerjaan memang lazim ditemui pada masyarakat Indonesia, bahkan sudah diatur sejak zaman Belanda. Pasal 1601b KUH Perdata menyebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan sebagai ‘suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan’. Adapun perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahan lain yang menerima penyerahan sebagian pelaksanan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, atau yang lazim disebut perusahaan outsourcing.

 

Rumusan senada diatur dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksana Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Disebutkan bahwa Perjanjian Pemborongan Pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang memuat hak dan kewajiban para pihak’.

 

Selanjutnya, Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata mengatur bahwa perusahaan outsourcing wajib atau bertugas untuk menyediakan bahan dan melakukan pekerjaan. Pada tahap berikutnya, apabila dalam proses pengerjaan muncul kendala yang mengakibatkan tidak dapat dilanjutkannya pekerjaan tersebut sehingga perusahaan outsourcing tidak dapat menyerahkan pekerjaannya kepada pemberi kerja (user), maka semua kerugian yang ditimbulkan merupakan tanggung jawab perusahaan outsourcing.” …kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai dalam menerima pekerjaan tersebut.”

 

Jika pemborong (perusahaan outsourcing) hanya diwajibkan untuk melakukan pekerjaan saja dan pekerjaannya musnah, maka pemborong hanya bertanggung jawab atas kesalahannya. Menurut Ike Farida, ketentuan ini mengandung maksud bahwa, akibat dari satu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, dan menimpa bahan-bahan dari pemberi pekerjaan (user), maka kerugiannya wajib ditanggung oleh pemberi pekerjaan.

 

Bagaimana jika perusahaan outsourcing hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja? Pasal 1607 KUHPerdata mengatur bahwa jika musnahnya pekerjaan tersebut terjadi di luar kelalaian perusahaan outsourcing, sementara pekerjaan tersebut belum diserahkan kepada pemberi pekerjaan (user), maka perusahaan outsourcing tidak berhak atas harga yang telah diperjanjikan. Hal ini berlaku sepanjang pemberi pekerjaan cermat dalam memeriksa dan menyetujui pekerjaan yang diberikan kepada perusahaan outsourcing. …Kecuali apabila musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu cacat dalam bahannya”.

 

Baca:

 

Penyedia Jasa Tenaga Kerja

Dalam UU Ketenagakerjaan, perusahaan pemberi pekerjaan (user) akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan pemborongan (outsourcing) yang berbadan hukum. Ketentuan berbadan hukum tersebut dikecualikan bagi perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang, jasa pemeliharaan dan perbaikan, serta jasa konsultasi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 orang (Kepmenakertras Nomor Kep.220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain). Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemborongan, diatur dalam Kepmenakertras Nomor Kep.220/Men/X/2004 ini (Kepmen No. 220 Tahun 2004).

 

Selain perjanjian pemborongan pekerjaan, outsourcing juga dapat dilakukan melalui penyerahan sebagian pekerjaan kepada Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja (PPJP). Ketentuan mengenai penyedia jasa pekerja ini lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.

 

Menurut Ike Farida, perjanjian jasa pekerja adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan PPJP yang memuat syarat-syarat, hak, dan kewajiban para pihak. PPJP dalam Kepmenakertrans No. 101/2004 diartikan sebagai perusahaan berbadan hukum yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan.

 

Ketentuan ini mendasari PPJP untuk wajib berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi Ketenagakerjaan. Apabila tidak dipenuhi ketentuan sebagai PPJP, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dengan PPJP, beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemberi pekerjaan (user).

 

Syarat-Syarat Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja

  • Dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis
  • Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja dari PPJP
  • Penegasan bahwa PPJP bersedia menerima pekerja dari PPJP sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi pergantian PPJP
  • Hubungan kerja antara PPJP dengan pekerja yang dipekerjakannya harus berdasar PKWT atau PKWTT.

Selain itu, penting diingat dalam pembuatan perjanjian tersebut:

  • Harus didaftarkan kepada Disnaker kab/kota tempat pekerjaan dilaksanakan paling lambat 30 hari kerja sejak ditandatangani
  • Izin operasional PPJP yang masih berlaku
  • Draft perjanjian kerja antara PPJP dengan pekerja yang dipekerjakan.

 

Pekerja outsourcing dari PPJP tidak boleh ditempatkan oleh pemberi kerja untuk melaksankan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar pekerja utama (core business) suatu perusahaan.

 

Batasan Pekerjaan Pendukung

UU Ketenagakerjaan tidak secara tegas mengatur perihal kriteria dan batasan pekerja pendukung dalam pemborongan pekerjaan. Pasal 65 ayat (2) mengatur bahwa sifat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan adalah: a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

 

Praktiknya, masih ada keleluasaan bagi pemberi kerja (user) dalam menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dikarenakan pemberi pekerjaan telah menentukan pekerjaan pendukung yang dimaksud.

 

Demikian halnya juga dengan batasan pekerjaan yang dapat diserahkan pada PPJP. Menurut Ike Farida dalam bukunya “Hukum Kerja Outsourcing di Indonesia”, tidak ada  ketentuan lain dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur secara tegas mengenai batasan jenis pekerjaan yang dapat diserahkan pada perusahan PJPJ. Karena itu, sulit untuk menentukan jenis pekerjaan yang merupakan kegiatan di luar usaha suatu perusahaan. Ketiadaan batas jenis pekerjaan utama atau inti membawa konsekuensi jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan PPJP  tidak dibatasi.

 

Untuk menentukan suatu kegiatan termasuk kegiatan pokok atau kegiatan penunjang, dapat dilakukan dengan melihat akibat dari kegiatan tersebut. Apabila tanpa kegiatan tersebut proses produksi perusahaan tetap berjalan dengan baik, maka kegiatan tersebut adalah kegiatan penunjang (non-core). Akan tetapi, apabila tanpa kegiatan tersebut proses produksi perusahaan menjadi terganggu atau tidak berjalan dengan baik maka kegiatan tersebut adalah kegiatan pokok (core).Penentuan atau batasan-batasan pekerjaan yang akan di-outsource, sangat terkait dengan visi dan misi perusahaan.

 

Keleluasaan menetapkan jenis pekerjaan kadang menimbulkan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Ada perbedaan persepsi antara serikat pekerja dengan pengusaha perihal pekerjaan apa yang bersifat pendukung dan pekerjaan apa yang bersifat utama. Misalnya, serikat pekerja terkadang menganggap bahwa pekerjaan yang dialihdayakan  bukan pekerjan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

 

Untuk itu, Kepmenakertrans No. 220 Tahun 2004 dan Kepmenakertrans No. 101 Tahun 2004 mensyaratkan kepada perusahaan untuk membuat alur pekerjaan terlebih dahulu sebelum menentukan pekerjaan yang akan dialihdayakan. Melalui alur pekerjaan inilah nantinya akan terlihat mana kegiatan pokok dan mana kegiatan penunjang.

 

Selanjutnya, dalam outsourcing pekerja hanya memiliki hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing, bukan dengan perusahaan pemberi pekerjaan (user). Pasal 65 ayat (6) UU Ketenagakerjaan menyatakan hubungan kerja melalui perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dengan pekerja yang dipekerjakan.

 

Pasal ini menunjukkan hubungan kerja tidak terjadi antara pekerja yang dipekerjakan dengan perusahaan pemberi kerja, melainkan antara pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan pekerjaan. Hubungan kerja tersebut bisa berpindah ke perusahaan pemberi kerja jika terjadi pelanggaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan: “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (2) dan (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja, pekerja Degnan perusahaan  penerima pemborongan kerja (perusahaan outsourcing beralih menjadi hubungan kerja pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan”.

 

Itu berarti, jika pekerjaan yang dilakukan bukan pekerjaan pendukung atau pekerjaan yang boleh dilakukan secara outsourcing dan jika perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum maka hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing secara otomatis akan berubah menjadi pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) pada perusahaan pemberi pekerjaan (user). Perusahaan pemberi pekerjaan wajib merekrutnya sebagai karyawan tetap.

 

Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing dapat didasarkan atas PKWTT atau bisa juga didasarkan atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) apabila telah memenuhi syarat-syarat PKWT sebagaimana disyaratkan pasal 59 UU Ketenagakerjaan (Pasal 2 Kepmenakertrans No. 220/Men/X/2004).

 

Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam hal hubungan kerja didasarakan PKWT maka jenis pekerjaan dalam perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang dilaksanakan pekerja bersangkutan haruslah bersifat sementara sifatnya (tidak terus menerus). UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara rinci perihal perlingungan hak-hak pekerja yang dipekerjakan.

 

Perlindungan terhadap pekerja diatur dalam Pasal 65 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja dari pekerja outsourcing haruslah sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepmenakertrans No. 220 Tahun 2004 mengatur perlindungan hak-hak pekerja outsourcing, dengan syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Sama halnya dengan pemborongan pekerjaan di dalam Penyedia Jasa Pekerja, perjanjian kerjanya dibuat antara pekerja dengan PPJP, bukan dengan perusahaan pemberi pekerjaan (user). Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara PPJP dengan pekerja dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Tags:

Berita Terkait