Cerita Otto Hasibuan Soal Sejarah Peradi Hingga Munas Makassar
Pojok PERADI

Cerita Otto Hasibuan Soal Sejarah Peradi Hingga Munas Makassar

Otto menyarankan agar diadakan Munas kembali untuk menyatukan ketiga kubu Peradi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan saat memberi kesaksian atas gugatan Ketua Umum Peradi kubu Fauzie di PN Jakarta Pusat, Rabu (1/8) malam. Foto: AJI
Mantan Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan saat memberi kesaksian atas gugatan Ketua Umum Peradi kubu Fauzie di PN Jakarta Pusat, Rabu (1/8) malam. Foto: AJI

Sidang gugatan perdata antara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pimpinan Fauzie Yusuf Hasibuan melawan Peradi pimpinan Juniver Girsang telah memasuki tahap pemeriksaan saksi. Sebagai penggugat, Peradi versi Fauzie menghadirkan Otto Hasibuan yang merupakan mantan Ketua Umum serta salah satu pendiri Peradi.

 

Dalam sidang Ketua Tim Kuasa Hukum DPN Peradi pimpinan Fauzie, Sapriyanto Refa menjelaskan kehadiran salah satu seniornya ini untuk menjelaskan organisasi Peradi secara umum dari mulai berdiri hingga sekarang ini, Munas Peradi di Makassar yang berakhir ricuh, serta Munas Pekanbaru (lanjutan) yang menghasilkan Fauzie sebagai Ketua Umum DPN Peradi.

 

Menurut Otto, Peradi didirikan oleh 8 organisasi advokat yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

 

Didirikannya Peradi, sambung Otto merupakan amanat dari  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 32 ayat (4) yaitu Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan.

 

Otto menjelaskan kehadiran Peradi tidak membuat organisasi advokat pendirinya meleburkan diri. “Mereka tetap ada, tidak melebur tapi beri mandat inilah organisasi advokat satu-satunya,” kata Otto dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (1/8/2018) malam.

 

“Saudara saksi, organ tertinggi Peradi itu apa menurut saksi?” tanya kuasa hukum Penggugat. Otto menjawab, sesuai anggaran dasar organ tertinggi adalah Musyawarah Nasional (Munas). Ia melanjutkan keabsahan Munas apabila dilakukan sesuai anggaran dasar seperti adanya panggilan, utusan cabang maka hasil dari Munas sendiri bisa dikatakan sah.

 

Patra M Zein, kuasa hukum Tergugat mendapat giliran mengajukan pertanyaan. Patra bertanya darimana masyarakat mengetahui jika seseorang merupakan Ketua Umum DPN Peradi, apa dari Surat Keputusan Kemenkumham atau dari keputusan lainnya. Otto kemudian menjawab seseorang diketahui merupakan Ketua Umum Peradi dari keputusan Munas.

 

“Apa di Anggaran Dasar Peradi 2005 diatur munas lanjutan?” tanya Patra.

 

“Yang ada di sana Munas, kata-katanya bukan lanjutan. Munas lanjutan de facto, kalau ditunda ya dilanjutkan,” jawab Otto. Ia menuturkan Munas lanjutan secara redaksional tidak dituliskan dalam Anggaran Dasar, tetapi ada perubahan di dalam Anggaran Rumah Tangga apabila suatu hal tidak bisa dilanjutkan, maka DPN Peradi diberi kewenangan menggelar Munas selanjutnya.

 

Kericuhan Munas Makassar

Setelah masa jabatan Otto berakhir pada 2015 digelar Munas yang rencananya pada 27-28 Maret 2015 di Makassar dengan Ketua Panitia Hermansyah Dulaini dan sekretarisnya Wismoko serta pelaksana daerah sekaligus Ketua DPC Makassar Jamil Misbah. Otto diketahui menjabat sebagai Ketua Umum Peradi dalam dua periode yaitu pada 2005-2010 dan 2010-2015.

 

Seremonial Munas sendiri dilakukan pada 26 Maret yang dihadiri para pejabat baik daerah maupun pusat berjalan dengan baik. Kemudian pada pagi harinya sekitar pukul 08.15 waktu setempat, ia didatangi Achiel Suyanto yang meminta agar tidak keluar ruangan lebih dulu karena keadaan di lokasi Munas terlihat ricuh.

 

“Banyak yang nuntut masuk walaupun bukan peserta Munas, mereka berteriak one man one vote, mereka minta semua advokat masuk. Kita minta bantuan kepolisian, minta dijelaskan, sampai jam 9 tidak reda juga. Dari jam 7 sudah ribut, saya dilarang turun, saya bilang tidak bisa saya ketua umum harus tanggung jawab,” jelasnya.

 

Apa yang dikatakan Achiel, menurut Otto memang terjadi. Ia melihat adanya saling berebut kartu pengenal dan juga ada sekelompok orang memakai ikat kepala bertuliskan one man one vote. Otto pun naik ke mimbar dan mencoba berunding dengan meminta para pengunjung yang tidak memiliki hak suara dan bukan merupakan peninjau agar meninggalkan ruangan.

 

Akhirnya, ia memutuskan untuk menunda Munas hingga pukul 14.00. Selain bantuan kepolisian, panitia Munas juga meminta bantuan dari TNI, sebab ketika itu ada isu akan terjadi penyerangan. Setelah jam 14.00 ternyata menurut Otto situasi belum juga berubah, sehingga Munas kembali ditunda hingga pukul 20.00.

 

Upaya negosiasi, menurut Otto, sempat dilakukan panitia untuk menenangkan massa, tetapi menemui jalan buntu. Salah seorang anggota TNI menyarankan kepadanya agar Munas ditunda untuk menghindari pertumpahan darah. Sebelumnya, pada pagi harinya Kapolrestabes Makassar kala itu juga mengaku tidak bisa mengendalikan massa.

 

“Munas tidak bisa berjalan, setelah ditimbang kami disarankan (46 DPC) ditunda saja, buat tertulis agar ada legalitasnya. Saya panggil panitia daerah, Jamil Misbah, apa sanggup laksanakan Munas ini, kata Jamil kami lempar handuk, tidak sanggup, semua nametag tidak tahu mana asli mana palsu. Di situ saya menyerah dan sampaikan di forum munas, jam 20.00 tidak ada munas lagi,” terang Otto.

 

Cerita Otto ini dibenarkan Jamil Misbah, Ketua DPC Makassar sekaligus panitia daerah dalam Munas Makassar itu. Menurut Jamil ketika itu ada sejumlah massa yang mendesak masuk ingin ditempatkan sebagai utusan agar mempunyai hak suara. “Di luar banyak teriak tidak ada di daftar, entah gimana membludak banyak, mereka pakai nametag dan bukan dari kami,” terang Jamil.

 

Jamil juga membenarkan dirinya diminta pendapat oleh Otto mengenai kelanjutan Munas.  “Karena tidak bisa dibendung saya koordinasi sama DPN dan SC (Steering Committee), tidak bisa membantu, akhirnya menyarankan ditunda dulu ini, jangan selenggarakan dulu ini,” kata dia.

 

Empat saksi lainnya yaitu Hermansyah Dulaini (Ketua Panitia Munas Makassar), Achiel Suyanto (Ketua Organizing Committee), Shalih Mangara Sitompul (Sekretaris Munas Pekanbaru) dan notaris Iwan Ampulembang mengamini keterangan yang diberikan Otto serta Jamil. Selain mengenai Munas Makassar, mereka juga membenarkan adanya Munas lanjutan yang dilakukan di Pekanbaru.

 

Harapan Otto

Setelah Munas Makassar yang berakhir ricuh, selanjutnya diketahui ada tiga kubu dalam Peradi yaitu Peradi pimpinan Fauzie Hasibuan, Juniver Girsang dan juga Luhut MP Pangaribuan. Terlepas ia sebagai saksi dari pihak penggugat yaitu kubu Fauzie, selaku salah satu pendiri dan mantan Ketua Umum, Otto mengaku prihatin atas adanya perpecahan berkepanjangan ini.

 

Ia sendiri mengaku telah berkoordinasi dengan Juniver Girsang untuk membantu mediasi agar Peradi bisa kembali bersatu. “Saya koordinasi dengan Juniver, saya telepon dia. Juniver gimana, iya bang, saya juga malu. Waktu itu sudah ketemu dua kali. Terakhir janji dia ketemu sama Fauzie, tetapi buat surat dulu,” kata Otto. Ia menuturkan Juniver juga berbicara padanya akan berkoordinasi dengan Luhut Pangaribuan.

 

Otto merasa sulit rasanya jika salah satu kubu diminta untuk mengalah dan masuk dalam kepengurusan kubu lain. Untuk menyiasati hal itu, ia mengusulkan untuk diadakan Munas  kembali untuk mencari pimpinan DPN Peradi. Otto pun berjanji jika memang Munas diadakan kembali, maka dirinya tidak akan maju untuk ketiga kalinya dalam pencalonan.

 

Sedangkan untuk ketiga kubu ini, Otto menyerahkan kepada mereka, apakah Fauzie, Juniver, ataupun Luhut akan tetap maju dalam pencalonan ini. Begitupun sebaliknya, apakah ketiga orang ini tidak ingin maju lagi untuk pencalonan dan memberi kesempatan kepada generasi muda, Otto juga tidak masalah.

 

Tetapi hingga hari ini Juniver belum memberikan jawaban. Otto pun masih akan menunggu jawaban tersebut dan berharap ketiga pihak ini mau melakukan rekonsiliasi demi kelangsungan Peradi di masa mendatang.

 

Harapan Otto ini disambut baik Ketua Majelis Hakim Budhy Hertantiyo dengan menyatakan dukungannya agar Peradi kembali bersatu. “Meskipun begitu, kalau memang perkara ini tetap dilanjutkan kami selaku majelis hakim siap memeriksanya,” ujar Hakim Budhy.

 

Petitum Peradi kubu Fauzie dalam gugatan ini berisi delapan hal antara lain menghukum Tergugat membayar ganti rugi, membayar biaya perkara secara tanggung renteng, dan melarang Tergugat melakukan tindakan-tindakan apapun dengan menggunakan nama Peradi. 

Tags:

Berita Terkait