Cerita Miftahul Ulum tentang Dugaan Aliran Uang ke Penyidik dan Auditor
Berita

Cerita Miftahul Ulum tentang Dugaan Aliran Uang ke Penyidik dan Auditor

Keterangan saksi di persidangan menjadi alat bukti yang sah.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Sidang Miftahul Ulum saat menjadi terdakwa. Foto: RES
Sidang Miftahul Ulum saat menjadi terdakwa. Foto: RES

Mantan Asisten Pribadi Menpora Imam Nahrowi, Miftahul Ulum menyeret pihak lain dalam dugaan aliran dana Kementrian Pemuda dan Olahraga (KONI). Ulum menyebut selain para pihak yang telah menjalani proses hukum seperti mantan Menteri Pemuda dan Olah raga Imam Nahrawi, pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), pejabat di Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi diduga menerima aliran uang.

Dilansir Antara, dalam persidangan Jumat kemarin Ulum menjadi saksi untuk terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI, mengaku ada pemberian uang kepada Achsanul Qosasi dan Adi Togarisman masing-masing sebesar Rp3 miliar dan Rp7 miliar.

Uang diberikan karena ada temuan BPK mengenai anggaran Satlak Prima tidak sesuai peruntukan, misalnya akomodasi yang nilainya beda dengan jumlah dicairkan dan penggunaan nutrisi, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk Kejagung, pemberian diduga dilakukan agar tidak ada lagi pemanggilan terkait dana bantuan yang diterima KONI.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan keterangan yang diberikan Ulum bisa menjadi alat bukti baru. “Keterangan saksi di bawah sumpah di depan persidangan tentu menjadi satu keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti,” kata Ali.

(Baca juga: Miftahul Ulum, Kisah Asisten Menteri yang Kini Jadi Terdakwa Korupsi).

Namun demikian, kata Ali Fikri, KPK akan melihat terlebih dahulu dengan alat bukti lain seperti ada tidaknya keterangan yang sesuai dengan saksi lain serta alat bukt petunjuk maupun keterangan terdakwa. Penuntut umum, kata Ali tentunya sudah mencatat dengan keterangan Ulum dan nantinya dari seluruh fakta persidangan akan dilakukan analisa yuridis lebih lanjut dalam surat tuntutannya.

“KPK memastikan, pengembangan perkara akan dilakukan jika setelah seluruh pemeriksaan perkara dalam persidangan ini selesai kemudian berdasarkan fakta-fakta hukum maupun pertimbangan majelis hakim dalam putusannya di temukan minimal setidaknya adanya dua alat bukti permulaan yang cukup maka tentu KPK tak segan untuk menentukan sikap berikutnya dengan menetapkan pihak lain sebagai tersangka,” jelas Ali.

Tanggapan Kejagung dan BPK

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan Kejakdsaan sudah membentuk tim khusus untuk menelusuri keterangan yang diutarakan Ulum pada saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jumat (15/5). Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus langsung memerintahkan tim untuk mengumpulkan data dan keterangan tidak lama setelah Ulum menceritakan dugaan aliran uang KONI di persidangan.

Hingga kini, kata Hari, tim penyelidik belum menemukan adanya bukti terkait tudingan itu. Ia mengklaim Kejaksaan Agung sudah memeriksa sejumlah pihak untuk mencari kebenaran mengenai keterangan yang dimaksud. Sayangnya, Hari tidak menjelaskan secara spesifik siapa saja pihak yang telah dimintai keterangan, meskipun begitu, keterangan yang disampaikan Ulum masih terus didalami Korps Adhyaksa. Terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Hibah KONI 2017 yang ditangani oleh penyidik Kejaksaan Agung, ia memastikan kasus masih terus berjalan. “Masih dalam proses pengumpulan barang bukti,” pungkasnya.

Anggota BPK Achsanul Qosasi juga membantah dugaan aliran uang seperti disinggung Ulum di persidangan. Dia menjelaskan, pemeriksaan dana hibah KONI dilakukan BPK pada 2016 bukan merupakan kewenangannya. Berdasarkan situs BPK, Achsanul Qosasi sudah menjadi anggota BPK sejak Oktober 2014. Namun, hingga April 2017, ia merupakan Anggota VII yang membawahi Kementerian BUM, SKK Migas, BUMN, anak perusahaan serta lembaga terkait di lingkungan itu dan baru pada April 2017 hingga sekarang, ia menjadi Anggota III yang kewenangannya mencakup sejumlah Kementerian dan Lembaga, termasuk Kemenpora.

“Surat Tugas Pemeriksaan bukan dari saya. Saya memeriksa Kemenpora pada tahun 2018 untuk pemeriksaan Laporan Keuangan," kata Achsanul dalam keterangan tertulisnya, kepada media, Sabtu (16/5).

Selain itu, Achsanul mengaku sama sekali tak mengenal Ulum dan tak pernah berkomunikasi dengannya. "Semoga Saudara Ulum bisa menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya, jangan melempar tuduhan tanpa dasar dan fakta yang sebenarnya,” pungkasnya.

Terkait hasil pemeriksaan laporan keuangan Kemenpora pada tahun 2018, Achsanul menyebut BPK mendapat sejumlah temuan  termasuk melibatkan posisi asisten pribadi Menpora. BPK pun memberikan rekomendasi untuk melakukan perbaikan, dan dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh lembaganya, sejak 2018 sudah ada perbaikan signifikan yang dilakukan Kemenpora.

Berkaitan dengan perkara ini ia pun mendukung proses hukum yang dijalankan KPK. "Dan saya mendukung proses hukum kasus KONI ini berjalan lancar dan fair, tanpa ada fitnah pada pihak lain, termasuk kepada saya sendiri,” tuturnya.

Cerita Ulum

Dalam surat dakwaan Bendahara KONI Johnny E Awuy disebutkan mengirimkan Rp10 miliar dan sesuai arahan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, uang Rp9 miliar diserahkan kepada Imam melalui Miftahul Ulum, yaitu sebesar Rp3 miliar diberikan Johnny kepada Arief Susanto selaku suruhan Ulum di Kantor KONI Pusat; Rp3 miliar dalam bentuk 71.400 dolar AS dan 189.000 dolar Singapura diberikan Ending melalui Atam kepada Ulum di Lapangan Golf Senayan; dan Rp3 miliar dimasukkan ke amplop-amplop diberikan Ending ke Ulum di lapangan bulu tangkis Kemenpora RI. Tujuan pemberian suap itu adalah agar Kemenpora mencairkan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar, sehingga cair Rp30 miliar.

Setelah itu terjadilah tanya jawab antara Jaksa Agus dengan Ulum. “Di BAP 53 huruf c, saudara mengatakan 'saya tetap di sini gak papa yang penting dia lolos, saya akan mengakui uang yang belasan juta, saya akui yang 10 juta, 20 juta yang gede-gede gak akan saya akui, di luar itu gak saya akui, yang penting dia lolos', kalimat yang anda maksud siapa?” tanya jaksa Agus seperti dilansir Antara. “Dia itu karena yang bermasalah KONI dan Kemenpora, dia itu sebenarnya ada Pak Menteri, ada Kejaksaan Agung, ada BPK, ada tiga orang ini yang perlu dilindungi waktu itu," jawab Ulum.

“Maksud saudara biar kasus ini sampai Pak Mulyana saja?” tanya jaksa Agus.

“Ya memang begitu, karena urusan BPK dan Kejaksaan Agung di Pak Mulyana dan KONI,” jawab Ulum.

“Jangan sampai Pak Menteri?” tanya jaksa Agus.

“Ya, karena ada temuan di sana yang harus segera diselesaikan, Kejaksaan Agung sekian, BPK sekian dalam rangka pemenuhan penyelesaian perkara,” jawab Ulum.

“Saudara saksi saudara saksi saudara saksi detail ya, untuk BPK berapa?” kata hakim Rosmina kepada Ulum.

"Untuk BPK Rp3 miliar, Kejaksaan Agung Rp7 miliar yang mulia, karena mereka bercerita permasalahan ini tidak ditanggapi Sesmenpora kemudian meminta tolong untuk disampaikan ke Pak Menteri, saya kemudian mengenalkan seseorang ke Lina meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan itu dulu," jawab Ulum.

“Saudara saksi tolong detail, seseorang itu kabur, siapa sebut saja namanya,” kata hakim Rosmina.

“Saya meminjamkan uang atas nama saya mengatasnamakan Lilik dan Lina untuk meminjam uang Rp7 miliar untuk mencukupi kebutuhan Kejaksaan Agung kemudian Rp3 miliar untuk BPK, itu yang harus dibuka,” jawab Ulum.

Menurut Ulum, pihak KONI dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung. “Yang menyelesaikan dari Kemenpora itu salah satu Asdep Internasional di Kejaksaan Agung yang biasa berhubungan dengan orang kejaksaan itu, lalu ada juga Yusuf atau Yunus, kalau yang ke Kejaksaan Agung juga ada Ferry Kono yang sekarang jadi Sekretaris KOI (Komite Olimpiade Indonesia),” jawab Ulum.

Menurut Ulum, ia membantu mencarikan uang Rp3-5 miliar dari kebutuhan Rp7-9 miliar. Ulum menyebutkan uang diberikan ke oknum di BPK dan Kejaksaan Agung. “BPK untuk inisial AQ yang terima tiga miliar itu, Achsanul Qosasi, kalau Kejaksaan Agung ke Adi Togarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung,” ujar Ulum.

Dalam sidang sebelumnya terungkap bahwa BPK menemukan sejumlah anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Kemenpora, KONI maupun cabang olahraga lainnya terkait dana Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima). Temuan BPK ada anggaran Satlak Prima tidak sesuai peruntukan. Misalnya akomodasi yang nilainya beda dengan jumlah dicairkan, penggunaan nutrisi, dan seterusnya, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sesmenpora Gatot S. Dewa Broto mengetahui kondisi tersebut dari anggota BPK Achsanul Qosasi yang memaparkan audit internal tersebut pada Agustus 2019.

Tags:

Berita Terkait