Cerita Jaksa Agung Membentuk Satgas 53
Terbaru

Cerita Jaksa Agung Membentuk Satgas 53

Sempat ragu dengan jaksa-jaksa di bawah dalam menerapkan restorative justice. Karenanya dibentuk Satgas 53 untuk memperkuat fungsi pengawasan internal.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Foto: Istimewa
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Foto: Istimewa

Mekanisme pengawasan internal terhadap jaksa di korps adhyaksa berada di ranah Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas). Dalam perkembangannya penguatan pengawasan harus terus dilakukan untuk memantau perilaku dan kinerja para jaksa agar on the track yang digariskan organisasi Kejaksaan Agung. Salah satunya, Kejaksaan Agung telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) 53. 

Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin mengatakan pembentukan Satgas 53 bukan tanpa sebab.  Satgas 53 dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor 261 Tahun 2020 tertanggal 21 Desember 2020. Anggota dari Satgas 53 berjumlah 31 orang dan dilantik pada 28 Desember 2020 lalu. Pembentukan Satgas pada dasarnya arahan Presiden Joko Widodo yang meminta agar pengawasan dan penegakan disiplin di tubuh korps adhyaksa lebih optimal.

Sementara para personil jaksa yang tergabung dalam Satgas 53 tidak dibebani pekerja lain. Sebab jaksa di Satgas 53 fokus pada tugas dan fungsi melakukan pengawasan sebagaimana tujuan pembentukan Satgas 53. Yakni mengoptimalkan pengawasan internal, pencegahan dan mendeteksi dini terhadap oknum jaksa maupun pegawai kejaksaan yang berpotensi melakukan penyimpangan ataupun perbuatan tercela.

Pembentukan Satgas 53, awalnya dibentuk bersamaan dengan untuk melakukan pengawasan terhadap penerapan restorative justice,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III beberapa hari lalu di Komplek Gedung Parlemen.

Burhanudin ingat betul, 2 tahun lalu saat hendak menandatangani kebijakan restorative justice sempat ragu. Ia mengaku belum percaya sepenuhnya dengan jajaran jaksa di bawah untuk menerapkan restorative juctice. Sebab, ia khawatir ketiadaan persamaan definisi restorative juctice antar penegak hukum menjadi celah disalahgunakan.

“Masih ada jaksa-jaksa nakal, maka kami bentuklah Satgas 53 sebagai petugas pengawasan selain ada fungsional pengawasan dari Jamwas,” ujarnya.

Dia mengakui mulanya ragu menerapkan keadilan restoratif dalam penanganan perkara tindak pidana di masyarakat. Tapi praktiknya memang ada pula perkara yang dapat ditindaklanjuti dengan penerapa keadilan restoratif. Khususnya perkara yang berdekatan dengan masyarakat. Menurutnya, penerapan restorative justice amat riskan bila dilakukan aparat penegak hukum yang tidak memiliki integritas dan obyektifitas dalam penanganan perkara.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) periode 2011-2014 itu berpendapat bila sebelumnya penerapan restorative justice melalui proses putusan pengadilan, tapi oleh kejaksaan bisa diselesaikan di tahap penuntutan. Bagi jaksa-jaksa nakal, kata Burhanudin, menjadi celah tawar-menawar dengan pihak berpekara.

“Bagi jaksa-jaksa nakal ini sangat ranum. Tapi alhamdulillah saat ini tidak ada yang melakukan itu (tawar-menawar, red). Tapi kalau ada yang melakukan, saya tidak akan pandang bulu, saya akan tindak tegas,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan jaksa-jaksa nakal yang terdapat di tubuh korps adhyaksa semestinya tak hanya diganjar sanksi mutasi, tapi ditarik ke ranah pidana agar terdapat efek jera. Hal ini menjadi contoh bagi jaksa lainnya agak tak main-main dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum.

Johan menunjuk lembaga tetangga Kejaksaan. Menurutnya, Polri sebagai institusi penegak hukum sedang segalak-galaknya memproses anggotanya yang kedapatan melakukan pelanggaran etik dan tindak pidana. Tak tanggung-tanggung, jenderal bintang satu dan dua pun diproses secara hukum pidana.

“Kejaksaan ini saya belum lihat, apakah karena jaksa-jaksa level bintang dua dan melati tiga, Kajati dan Kajari sudah baik semua. Sehingga apa yang dilakukan Jaksa Agung berimbang dukungan publik pada Kejaksaan Agung menjadi sangat tinggi, 75 persen,” ujar Juru Bicara KPK periode 2006-2014 itu.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menyayangkan Kejaksaan Agung terlihat bagus dalam penanganan tindak pidana korupsi. Namun, di level Kejaksaan Tinggi (Kejati) terlihat adem tanpa adanya tindakan represif dalam penanganan tindak pidana korupsi di daerah. Menurutnya, bila dibandingkan dengan KPK, KPK masih melakukan tindakan tegas terhadap kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi.

“Apakah mereka sungkan pada Bupati atau Gubernurnya, atau saya tidak tahu apakah karena bupati gubernurnya sudah baik-baik semua? KPK menangkap Gubernur, Bupati, tapi saya jarang melihat Kejati menangkap bupati atau gubernur,” sindirnya.

Tags:

Berita Terkait