Cerita di Balik Putusan Judicial Review dan Kelemahan PERMA No. 1 Tahun 2004
Pilkada Banten

Cerita di Balik Putusan Judicial Review dan Kelemahan PERMA No. 1 Tahun 2004

Nyatanya pengajuan permohonan uji materiil dalam Pilkada Banten membuka kelemahan yang ada dalam PERMA No. 1 Tahun 2004, dari soal tenggang waktu sampai pelaksanaan putusan.

Aru
Bacaan 2 Menit

 

PP yang dimohonkan untuk di uji materiilkan itu diketahui ditetapkan pada 11 Pebruari 2005. Dari berkas putusan MA, pasangan Djuwaeli-Daniri melalui penasihat hukumnya, Martinus Amin mengajukan permohonan HUM pada 10 Oktober 2006 dan diregister pada 18 Oktober 2006. Jika dihitung dari tanggal ditetapkannya PP, maka pengajuan permohonan telah melewati waktu yang ditentukan dalam PERMA HUM.

 

 

PERMA No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil

Pasal 2

(4)   Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Pasal 8

(1)          Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara.

(2)          Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

 

  

Adanya pemikiran untuk menolak HUM karena alasan tenggang waktu ini dibenarkan oleh Paulus. Namun akhirnya dengan melakukan beberapa kajian termasuk comparative study (studi perbandingan) dengan beberapa negara lain, Majelis seperti disampaikan Paulus kepada hukumonline, Jumat (1/12) memutuskan untuk menerima dan memeriksa permohonan HUM.  

 

Soal alasan mengapa Majelis menerima permohonan HUM ini mendapat perhatian yang besar dalam pertimbangan Putusan Nomor: 41 P/HUM/2006 yang dijatuhkan pada 21 Nopember 2006. Ada lima pertimbangan di sana. Selain comparative study, beberapa pertimbangan Majelis yang menarik adalah tinjauan dari segi filosofis hukum.

 

Menurut Majelis, adanya suatu pembatasan terhadap hak seseorang untuk menggugat pada hakekatnya adalah bentuk pengurangan atau membatasi Hak Asasi Manusia. Kalaupun ada pembatasan, hal tersebut harus diatur dalam Undang-Undang atau Hukum Acara, bukan peraturan di bawahnya. Tidak boleh produk hukum di bawah UU seperti PP, apalagi PERMA, urai Paulus.

 

Lagipula, lanjut Majelis, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 serta 31 A Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung tidak mencantumkan secara eksplisit adanya pembatasan tenggang waktu diajukannya permohonan.

 

Diceritakan Paulus, sejarah mengapa ada pembatasan tenggang waktu pengajuan HUM ini diawali dari diskusinya dengan mantan Ketua MA yang saat itu masih dijabat Sarwata. Dengan membandingkan pembatasan diajukannya gugatan terhadap Keputusan TUN selama 90 hari setelah diterbitkannya KTUN, Sarwata dan Paulus saat itu memutuskan untuk membatasi juga pengajuan HUM. Pada waktu itu kita berpikir soal kepastian hukum, ujar Paulus.

Tags: