Cerita di Balik Mundurnya Fredrich dan Otto dari Tim Pengacara Setya Novanto
Utama

Cerita di Balik Mundurnya Fredrich dan Otto dari Tim Pengacara Setya Novanto

Kekompakan sebuah tim pengacara sangat penting ketika membela klien. Tetapi keputusan klien juga sangat menentukan.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Begitu dinyatakan kembali sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi e-KTP, Setya Novanto mempersiapkan tim hukum yang kuat. Pengacaranya, Fredrich Yunadi, tetap dipertahankan menjadi kuasa hukum. Belakangan, Setya Novanto (Setnov) menambahkan anggota tim penasihat hukumnya. Advokat senior Otto Hasibuan bergabung lebih dahulu, disusul kemudian Maqdir Ismail.

 

Maqdir dikenal sebagai pengacara yang beberapa kali berhasil memenangkan permohonan praperadilan di pengadilan, termasuk ketika berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, dalam praperadilan kedua, Setnov tak menang sebagaimana praperadilan pertama. Permohonannya, yang diwakili tim pengacara lain, dinyatakan gugur karena pokok perkara sudah mulai diperiksa.

 

Salah satu yang menjadi tanda tanya dalam kasus Setnov adalah mundurnya dua orang pengacara secara tiba-tiba. Awalnya, secara terbuka Otto menyatakan mundur. Kemudian, ternyata Fredrich Yunadi juga mundur. Padahal, Fredrich sudah dikenal publik atas pembelaan-pembelaannya secara terbuka terhadap klien. Pernyataannya malah sering jadi bahan perdebatan di media sosial. Faktor hakiki di balik mundurnya Otto dan Fredrich sebagai kuasa hukum Setnov sebenarnya masih misteri. Apakah karena ada tekanan politik dalam penanganan kasus Setnov? Apakah karena terjadi perpecahan di tim pengacara? Apakah karena honorarium, atau karena sebab lain? Banyak pertanyaan yang bisa diajukan.

 

(Baca juga: Otto dan Fredrich Mundur dari Kuasa Hukum Setya Novanto)

 

Sebuah kesempatan mewawancarai Otto dan Fredrich diperoleh hukumonline di Yogyakarta, pekan lalu. Keduanya hadir dalam acara Rapat Kerja Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Kota Gudeg itu. Sejumlah advokat yang hadir di perhelatan itu meminta foto bersama Fredrich dan Otto. Di sela-sela Rakernas, dan di tengah kesibukan mereka, Fredrich dan Otto bersedia memberikan penjelasan langsung kepada jurnalis hukumonline yang ikut meliput Rakernas.

 

Fredrich membuat sebuah tamsil: di dalam satu kapal layar tak bisa ada dua kapten. Para pengacara Setya Novanto adalah sebuah tim yang relatif besar. Sejujurnya, yang mendapat kuasa dari Setya Novanto bukan hanya mereka bertiga: Fredrich, Otto, dan Maqdir; tetapi juga sejumlah pengacara lain. Masing-masing pengacara punya jam terbang yang berbeda, dan tentu saja cara bekerja yang berbeda. Ada yang mengandalkan pendekatan negosiatif, ada pula yang berusaha tegas. “Saya lebih banyak straight to the point,” advokat yang mengaku lulusan fakultas hukum Universitas Airlangga dan sebuah perguruan tinggi di Taiwan itu, Senin (11/12).

 

Fredrich menepis jika disebut punya masalah dengan kliennya dalam hal pendekatan. Ia menekankan pentingnya sebuah tim pengacara kompak dalam kerja-kerja pembelaan klien. Termasuk cara bekerja sebagai sebuah tim penasihat hukum. “Group kerja itu kan harus kompak ya,” ungkapnya.

 

Fredrich juga menepis anggapan bahwa ia mundur karena tekanan dalam penanganan perkara Setnov kian berat. Apalagi kemudian permohonan praperadilan kedua dinyatakan gugur oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Makin berat itu tantangan bagi saya, saya makin senang, semakin menarik bagi saya,” kata advokat yang mengaku memperoleh jurist doctor dari University of California, Los Angeles (UCLA) itu.

 

(Baca juga: Dakwaan Setnov Ungkap Beberapa Pertemuan Bahas Proyek e-KTP)

 

Mundurnya Fredrich dan Otto juga menjadi pelajaran penting bahwa keputusan klien sangat menentukan. Klien berhak menunjuk siapa saja advokat yang akan ditunjuk sebagai pengacaranya. “Kuncinya pada pemberi kuasa ya, SN, dia sendiri kan ragu-ragu, dia harusnya memberi penegasan, tapi ’udahlah kalian berunding sendiri saja’, kita nggak nyaman,” katanya lagi.

 

Fredrich bercerita masuknya Maqdir ke dalam tim tak berjalan mulus. Ada penolakan dari pengacara yang sudah lebih dahulu mendapat kuasa, termasuk Fredrich. Fredrich telah menjadi kuasa hukum ketika Setnov mulai ‘berurusan’ dengan KPK. Ia mengaku bertetangga dengan Setnov, sehingga tak mengherankan ditunjuk sebagai lawyer. “Saya sama beliau kan tetangga, satu RT satu RW,” jelasnya. “Beliau minta pertimbangan saya apa bisa bantu, ya saya bantu,” sambungnya.

 

Setelah perjalanan kasus ini semakin intens, Otto Hasibuan bergabung. “Pak Otto kan saya yang tarik,” kata Fredrich. Di lain kesempatan Otto menjelaskan pilihannya menerima tawaran menjadi kuasa hukum Setya Novanto adalah hal besar sampai harus meminta izin keluarganya. “Saya nggak langsung bilang iya. Runding dulu dengan keluarga. Kasus-kasus high profile selalu saya bicarakan dengan mereka,” tuturnya.

 

Otto menyadari bahwa keluarganya akan ikut merasakan risiko dari kasus-kasus besar yang ditanganinya. “Saya nggak boleh egois. Tentu mereka harus siap-siap semua kan,” katanya.

 

Ia menjelaskan pilihannya untuk menerima kasus Setya Novanto dalam rangka memberikan pemahaman pada masyarakat soal profesi advokat. “Bukan siapa kliennya yang menjadi persoalan, tetapi bagaimana caranya menangani perkara itu. Itu yang menjadi soal. Itu message yang ingin saya sampaikan kepada masyarakat,” tegasnya.

 

Status Otto sebagai kuasa hanya berbilang bulan. Ia memilih mundur sebelum perkara kliennya diperiksa di muka persidangan. Ketika ditanyakan alasan hakiki pengunduran dirinya dari tim kuasa hukum Setnov, Otto berlindung di balik prinsip kerahasiaan klien. “Tentunya sebagai lawyer saya juga sulit menceritakan semuanya, karena ada bagian-bagian rahasia klien, saya harus pegang teguh,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (12/12).

 

Otto hanya memberikan penjelasan secara umum antara ketidaksepakatannya dengan Setya Novanto. “Ternyata saya tidak menemui kesepakatan yang sama antara saya dengan Novanto tentang bagaimana cara menangani perkara ini, itu akan bisa berdampak buruk bagi dia dan bagi saya,” jelas Ketua Dewan Pembina Peradi ini.

 

Hindari stigma

Setya Novanto kini mulai menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama dengan orang lain. Berkaitan dengan dakwaan korupsi itu, Otto dan Fredrich mengingatkan prinsip penting yang harus dipegang: advokat tidaklah identik dengan kliennya.

 

Otto menegaskan ada stigma yang salah dalam masyarakat seolah-olah jika advokat membela tersangka pelaku kejahatan maka advokat tersebut juga membela kejahatan yang disangkakan kepada kliennya. “Seakan-akan kalau advokat membela seorang yang dituduh korupsi, kita itu adalah koruptor. Kalau membela pembunuh, kita jadi pembunuh,” lanjutnya.

 

Yang salah, kata Otto, adalah jika seorang advokat membela kliennya dengan cara-cara melanggar hukum dan kode etik. “Apalah gunanya kalau kau bela ustadz atau pendeta atau yang dianggap baik di masyarakat tapi dengan cara-cara yang salah, pelanggaran-pelanggaran kode etik, ya sama aja pengacara yang nakal,” tegasnya.

 

Dalam kalimat yang lain, Fredrich menyebut seorang advokat tak harus membela yang benar. “Advokat kan mengatakan tidak harus membela yang benar, advokat membela orang yang meminta bantuan hukum tanpa peduli dia pelaku atau tersangka, saya hanya bekerja secara profesional,” ujar advokat yang pernah ikut seleksi pimpinan KPK.

 

Otto mengaku khawatir jika advokat-advokat junior menjadi tidak berani menangani perkara besar karena tekanan stigma masyarakat semacam itu. “Tetapi kalau yang saya bela dituduh korupsi, dituduh membunuh, tetapi saya membelanya dengan cara-cara yang benar menurut hukum, maka saya tetap pengacara yang baik,” pungkas Otto.

 

Untuk itu ia memilih keluar dari zona nyaman dan berhadapan dengan stigma masyarakat. “Saya tidak membela Novanto, saya membela kepentingan hukum Novanto,” tambahnya.

 

Berkaitan dengan tujuannya menerima perkara Setya Novanto ini, Otto meyakinkan bahwa ia harus melakukan pembelaan dengan cara-cara yang baik dan benar di mata hukum. “Disepakatinya ini supaya jangan sampai terjadi kerugian yang lebih dalam bagi dia dan juga bagi saya,” terangnya.

 

Cuma, karena advokat dan klien tidak menemui kesepakatan mengenai hal yang prinsip, Otto memilih mundur. “Nah demi kepentingan dia, kepentingan saya, kepentingan pada umumnya, maka saya berpikir karena tidak ada kesepakatan, saya memutuskan mundur,” pungkas Otto.

 

Dihubungi Kamis (14/12) lalu, Maqdir Ismail menjelaskan saat itu belum pernah membicarakan secara langsung cara penanganan perkara Setya Novanto. “Kami belum pernah bicara bagaimana menangani perkara ini,” katanya melalui sambungan telepon.

 

Ia mempertanyakan bagian mana dari cara pembelaan kliennya yang tak sesuai hukum, dan mempersilakan masyarakat menilainya. “Kalau membela perkara secara hukum itu pasti akan kita lakukan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait