Cerita Advokat yang Pernah Ditolak Dampingi Saksi dalam Penyidikan
Terbaru

Cerita Advokat yang Pernah Ditolak Dampingi Saksi dalam Penyidikan

Pengusiran dan intimidasi yang pernah dialami advokat ketika mendampingi klien sebagai saksi dalam perkara pidana sebagai akibat implementasi Pasal 54 KUHAP.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sidang pengujian Pasal 54 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tidak mengatur saksi mendapat bantuan hukum oleh advokat kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/9/2022). Permohonan yang diajukan Ketua DPC Peradi Jakarta Selatan Octolin H Hutagalung dan 11 pemohon lain ini mengagendakan mendengarkan keterangan saksi pemohon yakni Advokat Petrus Bala Pattyona dan Bagia Nugraha.

Dalam persidangan, Petrus Bala Pattyona mengatakan sebagai advokat yang telah lama berpraktik ingin memberi kesaksian pengalamannya ditolak ketika mendampingi saksi. Dia menyebut Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai dua instansi yang menolaknya. Saat itu, ia mendampingi saksi yakni Brigjen Polisi Prasetijo Utomo yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra.

“Kejadiannya pada 2020 bulan Agustus, saat itu saya mendampingi Brigjen Prasetijo untuk diperiksa sebagai saksi. Saat bersamaan dia juga sebagai tersangka. Saat pemeriksaan sebagai tersangka karena itu hak tersangka untuk didampingi tidak ada masalah. Tetapi ketika mendampingi sebagai saksi terjadi debat karena penyidik mengatakan tidak ada aturan atau tidak ada kewajiban dari penyidik membolehkan penasihat hukum mendampingi saksi. Saat itu juga kami bertanya tidak ada larangan juga kan bagi penasihat hukum untuk mendampingi saksi,” ujar Petrus dalam persidangan secara daring seperti dikutip laman MK.

Baca Juga:

Petrus menjelaskan akhirnya terjadi debat dan ia menanyakan siapa yang melakukan penetapan peraturan tersebut. “Dari Direktur Tindak Pidana Korupsi dijabat oleh Djoko Purwanto, menyatakan ada peraturan Polri Tahun 2013. Sehingga terjadi debat dan akhirnya disuruh meninggalkan ruangan,” terang Petrus.

Baginya, sebagai pengacara merasa dirugikan dari segi hak-hak konstitusional karena dengan tidak mendampingi saksi secara profesi menjadi tidak menjalankan pekerjaan. “Menurut saya ini kerugian konstitusional dalam hal pekerjaan dan penghidupan yang layak karena profesi pengacara dalam hal pendampingan dilindungi Pasal 27 UUD Tahun 1945. Itu kasus yang pertama,” kata Petrus.

Ia juga mengalami hal yang sama pada kasus sebelum 2020 ketika mendampingi saksi dalam kasus Tommy Soeharto terkait kasus pembunuhan Hakim Agung Syafruddin. Pada waktu itu, ia tidak boleh mendampingi saksi dengan alasan tidak ada kewajiban penasihat hukum mendampingi.

“Tetapi kami katakan tidak ada larangan. Waktu itu belum tren debat konstitusional belakangan ini baru kita bisa mengkaitkan semua larangan harus bersifat konstitusional. Karena larangan dalam pendampingan para saksi saya sebagai advokat merasa dirugikan,” lanjutnya.

Menurut Petrus, penolakan advokat mendampingi saksi terjadi berulang kali karena dinilai tidak menjadi sebuah kewajiban. Kerugian bukan hanya dalam menjalankan profesi pengacara, tetapi juga bagi pencari keadilan, mereka tidak ada kepastian untuk membela diri. Melalui pengujian ini, pihaknya sangat berterima kasih supaya MK dapat memberikan tafsir konstitusional apakah ini keharusan mendampingi atau cukup pilihan bahwa saksi berhak menentukan didampingi advokat sepanjang saksi menghendaki.

“MK memberi tafsir konstitusional yakni tafsir bersyarat terkait apakah penyidik membolehkan saksi didampingi sepanjang dikehendaki sebagai saksi atau sepanjang saksi menjadi tersangka?”

“Inilah yang saya alami karena masalahnya pengaturan dalam KUHAP itu sendiri tidak tegas. Jadi tindakan terhadap saksi tidak jelas, sedangkan tindakan terhadap tersangka jelas. Hak-hak hukum saksi menurut kami sudah sangat dirugikan termasuk bagi profesi pengacara dan pencari keadilan,” katanya.

Diusir

Sementara Bagia Nugraha mengatakan baru-baru ini ia mengalami kejadian diusir dari ruangan oleh Penyidik saat mendampingi klien yang berstatus sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Ia mengatakan telah memberikan surat kuasa dan surat kuasa beserta kartu anggota Peradi, namun ditolak dengan alasan kliennya masih berstatus sebagai saksi.

“Lalu saya berdebat dengan penyidik dan mengatakan, Bang ini ada di Pasal 18 UU Hak Asasi Manusia yang menyatakan setiap orang yang diperiksa itu berhak mendapat bantuan hukum dan penyidik itu berkata kita ini punya hukum formil, hukum formil itu dari KUHAP. Di KUHAP secara tegas tidak menyatakan saksi itu berhak mendapatkan bantuan hukum. Lalu, penyidik tersebut mengancam ‘apa perlu klien Anda ini saya naikkan statusnya jadi tersangka?’. Mendengar hal tersebut saya kemudian tidak mendebat dan kemudian keluar dari ruangan penyidik,” kata Bagja Nugraha dalam kesaksiannya.

Dalam keterangan tertulisnya, menurut Bagia, pemeriksaan terhadap seorang saksi yang masuk materi pemeriksaan sudah selayaknya didampingi advokat. Pendampingan dilakukan oleh advokat dalam rangka menjaga netralitas pemeriksaan agar tidak terjadi tekanan dalam proses penegakan hukum.

Dalam tahapan penyelidikan/penyidikan sebagai bagian dari tahap pra-judikasi, saksi dapat berperan menentukan apakah suatu dugaan tindak pidana benar telah terjadi atau tidak. Saksi juga berperan dalam penentuan status hukum seseorang, yang semula dalam kondisi bebas, kemudian diubah statusnya menjadi tersangka yang kepadanya dapat dilakukan tindakan hukum paksa berdasarkan undang-undang.

"Pengusiran dan intimidasi yang pernah saya alami ketika mendampingi klien sebagai saksi dalam perkara pidana sebagai akibat implementasi Pasal 54 KUHAP tentunya merupakan suatu pelanggaran konstitutional baik kepada setiap warga negara yang berhadapan hukum sebagai saksi maupun saya selaku Advokat yang memiliki tugas dan tanggung jawab menegakkan hak-hak klien di hadapan hukum."

Sebelumnya, para pemohon yang berprofesi sebagai advokat melayangkan uji materi Pasal 54 KUHAP yang berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. 

Menurut para pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat saat menjalankan profesinya. Sebab, Pasal 54 KUHAP tidak mengatur kata ”saksi” untuk mendapatkan bantuan hukum dan terbatas hanya mengatur bantuan hukum terbatas kepada tersangka dan terdakwa.

Artinya, tidak adanya ketentuan dalam KUHAP yang mengatur hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberi keterangan di muka penyidik baik di Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hak tersebut diberikan semata-mata bentuk perlindungan hukum dan HAM agar tidak menimbulkan potensi seorang saksi mendapatkan tekanan, paksaan, bujuk rayu, ancaman kekerasan baik bersifat fisik maupun psikis saat diperiksa untuk mendapatkan keterangan, informasi. Faktanya, para pemohon beranggapan dalam proses perkara pidana, advokat seringkali dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka, ataupun terdakwa.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan Pasal 54 KUHAP tetap dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang frasa "guna kepentingan pembelaan" bukan hanya diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa, tetapi termasuk juga saksi.

Tags:

Berita Terkait