Dengan nada meyakinkan, para wakil rakyat penggagas Sidang Istimewa tersebut menyatakan percepatan harus dilakukan. Percepatan ini karena dilantiknya Jenderal Polisi Chaerudin menjadi pemangku jabatan Kapolri yang diyakini telah melanggar hukum. Para pengagas Sidang Istimewa menilai, Presiden telah melanggar Pasal 7 ayat (3) Tap MPR Nomor VII tahun 2000 yang mengatur mengenai pengangkatan Kapolri.
Paranoid para elite
Seolah-olah dengan tindakannya yang mencopot Jendral Polisi S.Bimantoro sebagai Kapolri itu, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dianggap telah menjelma menjadi monster yang membahayakan kehidupan masyarakat. Padahal kalau mau jujur, satu-satunya yang terancam oleh upacara pelantikan sederhana di Istana itu hanyalah jabatan para wakil rakyat di Senayan.
Wabah paranoid tiba-tiba menjangkiti para elite, baik di eksekutif maupun legislatif. Perilaku paranoid para penggagas percepatan SI MPR sebenarnya telah menyamakan tabiat politik mereka dengan Presiden. Kala itu, Gus Dur mengancam akan memberlakukan keadaan darurat apabila MPR benar-benar bersidang untuk mencopotnya.
Hal ini bisa dimengerti karena situasi yang ada sangat tidak memuaskan dan MPR memiliki hak konstitusional untuk melakukan hal itu. Tetapi sayangnya, perdebatan yang muncul sama sekali tidak menyentuh persoalan substansialnya. Persoalan sesungguhnya justru terletak pada struktur konstitusional yang ada sekarang.
Pasalnya dengan struktur yang ada, tidak akan mungkin bagi siapapun memerintah secara efektif. Selain itu, meruyaknya konflik antara DPR dengan Presiden Abdurrahman Wahid didorong pula oleh makin menguatnya "politik parlementer" yang diperankan DPR.
Padahal sedemikian kuatnya DPR tidak serta merta berarti bahwa lembaga legislatif itu telah melaksanakan fungsinya dengan baik. Bahkan, DPR hasil Pemilu 1999 sangat impresif telah menyimpang dari proporsinya dalam melaksanakan fungsi-fungsi legislatifnya.
Persoalan konstitusional
Persoalan kepemimpinan di Indonesia ini sesungguhnya bersumber jauh lebih dalam ketimbang kualitas pribadi dari para elite tertentu. Persoalan yang muncul sebenarnya justru lebih bersifat kelembagaan. Karena itu, diperlukan suatu pemikiran kembali mengenai struktur kekuasaan dan kelembagaaan secara konstitusional. Sayangnya sampai sekarang, syarat itu belum terlihat. Dan malahan menjadi komoditas konflik politik yang sempit.