Celah Hukum Ini Berpotensi Lemahkan Penegakan Hukum Pemilu
Berita

Celah Hukum Ini Berpotensi Lemahkan Penegakan Hukum Pemilu

Butuh peraturan yang memaparkan secara jelas dan tegas mengenai kampanye.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kampanye. Ilustrator: BAS
Ilustrasi kampanye. Ilustrator: BAS

Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara Pemilu terus melakukan pesiapan untuk menghadapi pesta demokrasi yang akan digelar secara serentak pada April 2019. Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan sedikitnya ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait kesiapan KPU dalam menyelenggarakan pemilu serentak tersebut.

Pertama, kesiapan petugas KPU dari tingkat pusat sampai daerah. KPU masih melakukan rekrutmen di sejumlah provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, mengenai anggaran, KPU telah mengajukan permohonan kepada Kementerian Keuangan agar anggaran bisa cair pada Januari 2019. Ketiga, menyiapkan logistik pemilu seperti surat suara, tinta, kotak dan bilik suara. “Untuk menyelenggarakan Pemilu serentak 2019 sampai saat ini kami siap 90 persen,” kata Arief dalam diskusi di kantor KPU Pusat di Jakarta, Selasa (18/12).

Faktor lain yang mempengaruhi kesiapan penyelenggaraan pemilu menurut Arief berkaitan dengan daftar pemilih tetap (DPT) yang telah ditetapkan pada 15 Desember lalu.

Komisioner Badan Pengawas Pemilu, Mochammad Afifudin, mengatakan tugas KPU dan Bawaslu adalah menjaga agar pemilu dapat berjalan baik. Untuk mewujudkan itu KPU dan Bawaslu butuh dukungan dari pemangku kepentingan dan seluruh masyarakat. Afif mencatat ada beberapa isu yang penting untuk dicermati menjelang penyelenggaraan pemilu serentak 2019 antara lain mengenai DPT, kampanye, dan pemungutan suara.

Dalam menyikapi berbagai isu yang berkembang, Afif menyebut kadang muncul ketegangan antara KPU dan Bawaslu misalnya soal kampanye di luar jadwal. Guna mengatasi persoalan itu dibutuhkan peraturan teknis yang berisi penjelasan secara detail misalnya mengenai kampanye. Afif menegaskan dalam melaksanakan tugas, Bawaslu berpegang teguh pada peraturan yang berlaku. “Secara umum KPU dan Bawaslu siap menyelenggarakan pemilu serentak 2019,” katanya.

(Baca juga: Aksi Saling Lapor, Kampanye Substansial Terabaikan).

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengingatkan adanya potensi sengketa dalam pemilu 2019 seperti sengketa hasil dan Daftar Pemilih Tetap. Dibandingkan Pemilu 2014m Titi berpendapat, potensi sengketa dalam pemilu 2019 lebih besar karena sengketa tidak hanya bisa diajukan oleh parpol peserta pemilu tapi juga calon legislatif (caleg) tentunya setelah mendapat rekomendasi dari pimpinan parpol. Sengketa pemilu yang diajukan caleg berpeluang besar terjadi mengingat jumlah kursi di DPR bertambah menjadi 575 dengan jumlah caleg yang ikut kontestasi pemilu 2019 jumlahnya lebih dari 8 ribu.

“Jika dibandingkan sengketa pemilu 2014 jumlahnya sekitar 900 kasus, tapi sengketa yang berpotensi terjadi dalam pemilu serentak 2019 jumlahnya bisa sampai seribuan kasus,” katanya.

Untuk mengantisipasi terjadinya sengketa itu Titi mengusulkan kepada KPU untuk melakukan sedikitnya lima hal. Pertama, KPU harus bekerja mengikuti aturan yang ada. Kedua, KPU harus memastikan seluruh jajarannya bekerja secara profesional mengikuti prosedur. Ketiga, memastikan tidak ada manipulasi yang melibatkan penyelenggara pemilu. Keempat, melakukan proses administrasi dan dokumentasi terhadap setiap hasil kerja KPU untuk membuktikan ketika terjadi sengketa bahwa mereka telah bekerja dengan benar. Kelima, membangun transparansi dan keterbukaan sehingga publik bisa mengetahui dan mengakses apa saja yang KPU lakukan.

Berkaitan dengan regulasi, Titi menekankan ada banyak hal yang perlu dibenahi KPU. Misalnya, ada beberapa regulasi yang belum disahkan antara lain Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan suara. Selain itu KPU perlu membenahi peraturan terkait kampanye karena masih ada celah yang bisa mengganggu penegakan hukum. Misalnya, harus ada pembatasan uang makan dan transportasi yang bisa diberikan kepada peserta kampanye. Dalam peraturan sebelumnya Titi mengatakan tidak boleh dalam bentuk uang tunai.

KPU mengatur kampanye dalam Peraturan KPU No.28 Tahun 2018 tentang Perubahan Peraturan KPU No. 23 Tahun 2013 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Regulasi ini mengatur peserta pemilu dapat mencetak dan menyebarkan bahan kampanye. Setiap bahan kampanye apablia dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp60 ribu.

(Baca juga: Ini Dia Desain Alat Peraga Kampanye Pilpres 2019).

Ketentuan tentang kampanye itu menurut Titi perlu dibenahi agar mampu menciptakan kesetaraan bagi seluruh peserta pemilu dalam berkampanye. Celah hukum ini berpengaruh signifikan dalam penegakan hukum pemilu. “Bawaslu kadang terkendala dalam melakukan penegakan hukum pemilu. Misalnya terjadi pelanggaran kampanye tapi peraturan yang ada ternyata membuka celah untuk ditafsirkan berbeda,” katanya.

Terkait pidana pemilu 2019 Titi berpendapat potensinya cukup besar karena kompetisi antar peserta pemilu makin sengit. Apalagi menjelang hari pemungutan suara karena tahap ini paling menentukan apakah calon akan mendapat suara yang cukup atau tidak untuk memenangkan pemilu. Beberapa praktik pidana pemilu yang berpeluang terjadi antara lain politik uang, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan politisasi isu SARA.

Titi melihat salah satu hambatan terbesar dalam penegakan hukum terkait pidana pemilu yakni perbedaan persepsi antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Misalnya, Bawaslu menemukan unsur pidana pemilu, tapi kejaksaan punya pendapat yang berbeda. “Perbedaan persepsi ini yang sering menghambat penegakan hukum dalam kasus pidana pemilu,” urainya.

Tags:

Berita Terkait