Cegah Risiko Hukum, Industri Jasa Keuangan Mesti Perketat GCG
Berita

Cegah Risiko Hukum, Industri Jasa Keuangan Mesti Perketat GCG

Sektor jasa keuangan rawan terjadinya kejahatan. Karena itu, penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dengan ketat diharapkan dapat mencegah pelanggaran tersebut.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Risk Management dan Good Corporate Governance dalam Rangka Meminimalisir Risiko Hukum dan Kepatuhan pada Industri Keuangan” di Hotel Aryaduta Jakarta, Selasa (27/2). Foto: CR-26
Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Risk Management dan Good Corporate Governance dalam Rangka Meminimalisir Risiko Hukum dan Kepatuhan pada Industri Keuangan” di Hotel Aryaduta Jakarta, Selasa (27/2). Foto: CR-26

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Erry Riana Hardjapamekas menilai salah satu sektor industri yang paling ketat peraturannya di Indonesia adalah sektor jasa keuangan. Industri ini berada di bawah pengawasan beberapa lembaga yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Bursa Efek Indonesia.

 

Meski sudah diatur secara ketat, ternyata Erry menilai masih ada celah tindak kejahatan dalam industri jasa keuangan dapat terjadi. Karena itu, dalam mengantisipasi tindakan kejahatan tersebut, sektor jasa keuangan harus menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) secara ketat.

 

Menurut Erry, yang juga pernah menjabat sebagai komisaris utama di sekto perbankan, mengimbau penerapan prinsip GCG pada sektor korporasi jangan hanya sekadar formalitas, tetapi perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.

 

“Jangan melaksanakan GCG dengan terpaksa tapi dilakukan senang hati. Jangan menganggap itu sekadar formalitas karena ujungnya GCG itu untuk perbaikan,” kata Erry saat menjadi pemateri dalam Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Risk Management dan Good Corporate Governance dalam Rangka Meminimalisir Risiko Hukum dan Kepatuhan pada Industri Keuangan” di Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta, Selasa (27/2/2018).

 

Erry menjelaskan pelaporan GCG harus dilakukan industri keuangan kepada OJK setiap akhir tahun. Dalam pelaporan tersebut, terdapat tiga poin yakni tentang transparansi penerapan tata kelola perusahaan, penilaian sendiri (self assessment), dan rencana tindakan/aksi (action plan). Dalam laporan tersebut menjadi bahan penilaian regulator mengenai baik dan buruknya pengelolaan perusahaan jasa keuangan.

 

Salah satu penerapan GCG di industri keuangan sudah diatur OJK melalui Peraturan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum. Dalam regulasi tersebut menjelaskan tata kelola yang baik adalah tata cara pengelolaan bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness).

 

Dalam kesempatan yang sama, Director of Bank Danamon, Rita Mirasari menyampaikan perusahaan jasa keuangan harus menerapkan mitigasi dalam menghadapi potensi risiko-risiko yang akan muncul di masa depan. Ia menilai antisipasi tersebut perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan atau fraud.

 

“Kita harus melihat tren ke depan, misalnya mata uang melemah tetapi exposure kita sangat kuat dan kita tidak melakukan hedging (lindung nilai). Bagaimana memitigasinya dengan policy kita?” kata Rita.

 

Contoh lain, Rita menceritakan mengenai besarnya kredit macet fraud yang kerap terjadi di industri perbankan, salah satunya kredit fiktif. Menurut Rita, hal tersebut kerap terjadi karena masih lemahnya pengawasan di internal perusahaan tersebut. Kondisi tersebut juga dikhawatirkan berpotensi mengganggu kelangsungan bisnis perusahaan.

 

Dalam praktiknya, modus tindak pidana perbankan yang dilakukan. Diantaranya, tidak mencatatkan dana yang ditabung oleh nasabah dan permohonan kredit fiktif dengan menggunakan data nasabah lama yang sudah melunasi kredit dan debitur yang permohonannya tidak disetujui.

 

OJK mencatat dugaan tindak pidana perbankan paling banyak terjadi di bank perkreditan rakyat (BPR) dibanding bank swasta dan BPR Syariah (BPRS) sepanjang 2014-2016. Berdasarkan data 2016, sebanyak 88 persen dari BPR yang ditutup oleh OJK akibat fraud. Sedangkan BPR Syariah tercatat empat kasus dan bank swasta tercatat tanpa kasus. Baca juga: Pidana Perbankan Banyak Terjadi di BPR

 

Dalam periode 2016, OJK juga mencatat penyimpangan yang terjadi di BPR dan BPRS, kebanyakan saat pendanaan yaitu sebanyak 13 kasus dengan nominal Rp 48,483 miliar. Kemudian penyimpangan perkreditan sebanyak 12 kasus dengan nominal Rp 46,969 miliar.

 

Tindak pidana perbankan di BPR tercatat paling banyak terjadi pada 2014 yaitu sebanyak 50 kasus. Kemudian sempat turun hingga 15 kasus pada 2015 dan meningkat menjadi sebanyak 21 kasus pada 2016.

 

Dalam sektor jasa keuangan, fraud dapat diartikan sebagai tindakan sengaja melanggar ketentuan internal (sistem dan prosedur) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi kepentingan pribadi atau pihak lain yang berpotensi merugikan perusahaan secara material ataupun moril.

 

Salah satu fraud yang pernah menimpa sektor jasa keuangan nasional adalah kasus pembobolan rekening nasabah Citibank. Dalam kasus tersebut, pelaku memindahkan uang nasabah ke rekening pribadinya. Pelaku didakwa dengan tindak pidana  pencucian uang dan penggelapan yang dinilai melanggar UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Tags:

Berita Terkait