Cegah Penyalahgunaan, Perlu Merumuskan Kembali Konsep Pengawasan Tindakan Kepolisian
Utama

Cegah Penyalahgunaan, Perlu Merumuskan Kembali Konsep Pengawasan Tindakan Kepolisian

Perlu peran kontrol dari lembaga penegak hukum lain, seperti pengawasan melalui pengadilan, jaksa penuntut umum, hingga advokat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Kedua, soal durasi penangkapan. Menurutnya, dalam KUHAP sudah mengatur durasi penangkapan. Pasal 19 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari”. Tapi dalam UU sektoral seperti UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur lebih dari satu hari. Pasal 76 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan, “Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.

Sementara dalam UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU mengatur lebih lama. Pasal 28 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari”.

Ketiga, penempatan penahanan. Ia melanjutkan dalam KUHAP sudah menerangkan tempat penahanan orang yang diduga melakukan tindak pidana sementara dilakukan di rumah tahanan (Rutan). Tapi faktanya upaya paksa penangkapan dan penahanan dilakukan di kantor polisi. Sementara UU 5/2018, pemeriksaan lebih dari 1x24 jam dan kemudian diperiksa dan ditahan tidak disebutkan tempatnya.

“Yang jadi masalah itu tidak diatur dalam persidangan, padahal itu masuk dalam proses pemeriksaan. Tidak adanya pengaturan dalam KUHAP dan UU lain, sehingga terjadi penahanan tanpa akses dengan dunia luar (Incommunicado detention),” ujarnya.

Terhadap sejumlah persoalan yang berpotensi terjadinya abuse of power polisi, maka dibutuhkan bentuk pengawasan yang tepat dan mamadai. Setidaknya terdapat tiga hal. Pertama, pengawasan melalui pengadilan alias judicial scrutiny. Dia berpendapat konsep izin melalui pengadilan sebelum melakukan tindakan pro justitia menjadi upaya dalam mengontrol tindakan kepolisian dalam penegakan hukum dalam menggunakan kewenangan upaya paksa penyidik.

Dalam praktiknya, pengawasan pengadilan memang berjalan. Tapi, kata perempuan biasa disapa Tita itu, terdapat sejumlah evaluasi. Seperti pemberian izin upaya paksa di tangan pengadilan sudah tertuang di KUHAP. Tapi yang terlaksana sebatas administratif, sebatas perpanjangan masa penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.

“Itu hanya kepentingan administratif tanpa menggali apakah orang itu bisa ditahan atau tidak. Tapi dalam kaca mata sekarang, ini dia wajib ditahan. Padahal itu logika terbalik dalam sistem peradilan pidana,” ujarnya.

Kedua, fungsi penuntutan oleh jaksa penuntut umum. Menurutnya, pengawasan dalam proses penyidikan dan pemberkasan perkara yang dilakukan jaksa memiliki peran paling penting dalam peradilan pidana. Sebab, jaksa penuntut umum yang nantinya membuktikan perbuatan tindak pidana pelaku di meja hijau berdasarkan alat bukti yang didapat penyidik.

Ketiga, penguatan peran kewenangan advokat. Menurutnya, dalam banyak diskursus membahas reformasi peradilan jarang membahas upaya membatasi kewenangan kepolisian. Padahal, advokat sebagai bagian dari penegak hukum memiliki peran kunci dalam memastikan terpenuhinya hak-hak tersangka/terdakwa sebagai kliennya dalam menghadapi kasus hukum.

“Tanpa advokat ini, dengan gampangnya jaminan hak-hak itu hanya di atas kertas. Tapi dengan adanya advokat dalam proses pembelaan, bantuan hukum harus ada aktor kunci lain yang dapat meningkatkan posisi tersangka setara ketika berhadapan dengan aparat negara, dalam hal ini polisi,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait