Potensi industri perikanan di Indonesia sangat besar baik perikanan tangkap dan budidaya. Transparency International Indonesia (TII) mencatat kontribusi penerimaan pajak sektor perikanan per Agustus 2019 mencapai Rp1,3 triliun dan tahun 2018 Rp1,6 triliun. Nilai ekspor perikanan Indonesia berada di peringkat ketiga setelah China dan Vietnam.
Sayangnya, potensi yang besar itu belum dapat dimanfaatkan secara maksimal karena tata kelola perikanan masih belum ideal. Misalnya, dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal atau ilegal, underreported and unreported (IUU) fishing masih menjadi akar persoalan di sektor perikanan. Tercatat kerugian akibat IUU fishing hingga mencapai Rp45 triliun per tahun.
Peneliti TII, Bellicia Angelica, mencatat sedikitnya ada 3 celah penggelapan di sektor perikanan. Pertama, tahap sebelum penangkapan ikan meliputi perizinan, seperti perizinan ganda dan manipulasi, dalam hal seperti kepemilikan dan ukuran kapal.
Baca Juga:
- Kebijakan Perikanan Berkelanjutan Harus Berbasis Bukti
- PSHK-Hukumonline Luncurkan Laman Lexikan.id
- Ragam Sebab Pelanggaran Hukum di Laut, Ini Solusinya
Kedua, pada saat penangkapan ikan dimana pelaporan tidak sesuai, penggunaan alat tangkap yang dilarang. Serta mengalihkan muatan ke kapal lain di tengah laut. Padahal seharusnya muatan dibongkar di pelabuhan untuk dicatat petugas pengawas.
“Transaksi yang dilakukan di tengah laut itu membuat pajak dan pendapatan yang seharusnya disetor ke negara menjadi minim,” kata Bellecia dalam diskusi bertema “Persoalan Pelik Tata Kelola Perikanan di Indonesia”, Selasa (17/5/2022).
Ketiga, tahap setelah penangkapan ikan. Bentuk penggelapan yang terjadi antara lain pelaporan hasil tangkapan tidak sesuai. Peliknya persoalan tata kelola perikanan juga dapat dilihat dari kasus Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, yang tersangkut kasus korupsi ekspor benih lobster.