Cegah Korupsi, Banggar DPR Butuh Portal Transparansi
Berita

Cegah Korupsi, Banggar DPR Butuh Portal Transparansi

Agar sidang pembahasannya dilakukan secara terbuka dan kemudahan akses dalam penetapan APBN.

ASH
Bacaan 2 Menit
Cegah Korupsi, Banggar DPR Butuh Portal Transparansi
Hukumonline

MK kembali menggelar sidang pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3) dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Agenda sidang kali ini kembali mendengar keterangan ahli yang diajukan pemohon dan mendengarkan keterangan dari KPK.  

Salah seorang ahli yang dihadirkan adalah Iwan Gardono Sujatmiko. Pakar Sosiologi Politik Universitas Indonesia (UI) ini menilai salah satu faktor yang berperan mendukung korupsi adalah adanya “kerahasiaan palsu atau salah” mengenai sesuatu yang seharusnya tidak dirahasiakan. Dalam hal ini, informasi mengenai proses dan hasil Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan seringkali tidak transparan.

“Bahkan kerahasiaan ini terjadi di dalam DPR sendiri. Dalam satu kasus, pimpinan DPR dan Komisi (BUMN) kaget dengan adanya anggaran sebesar Rp5,75 triliun yang belum disetujui, namun muncul dalam sidang paripurna. Ini disebut seorang politikus sebagai penyelundupan anggaran,” ungkap Iwan di ruang sidang MK, Rabu (21/8).

Iwan juga menilai keadaan seperti itu sama sekali tidak menunjukkan adanya transparansi dan keterbukaan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi, “Anggaran pendapat dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dia menjelaskan konsep “terbuka” dan “bertanggung jawab” ditegaskan dalam UU Keuangan Negara dan  MD3. Merujuk berbagai kepustakaan definisi terbuka bukan hanya terbukanya sidang pembahasan, melainkan adanya akses yang mudah dan cepat dari pembuatan dan penetapan APBN.

Demikian pula konsep “tanggung jawab” menunjukkan perlunya setiap pimpinan dan anggota Badan Anggaran (Banggar) melaporkan dan bertanggung jawab setiap tindakannya kepada DPR dan publik. “Untuk melaksanakan hal ini, dapat dilakukan melalui portal transparansi yang mudah diakses oleh publik, sehingga mereka dapat mengkritisi dan berpartisipasi dalam pembuatan anggaran,” saran Iwan.

Menurut dia tidak adanya norma tegas perlunya “keterbukaan” dan ”tanggung jawab” ini menghasilkan keadaan ambigu dan multi tafsir, sehingga anggota Banggar dapat melakukan pembintangan, pemblokiran, dan  penambahan anggaran baru secara “rahasia”. Keadaan tanpa kontrol inilah menghasilkan potensi korupsi yang saat ini menimpa beberapa anggota Banggar.

“Dengan penegasan ‘terbuka’ dan ‘transparansi’, peluang penyimpangan dan korupsi pada beberapa pasal dan ayat pada UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 27 Tahun 2009 dapat dikurangi,” kata Iwan.

Karenanya, ia menyarankan agar MK mempertimbangkan pentingnya prinsip “terbuka” dan “tanggung jawab” dan memutuskan proses pembuatan anggaran dapat diakses publik, antara lain dengan pembuatan “portal transparansi.” Menurut Iwan, putusan MK pengujian UU ini kelak dapat menjara roh dan spirit norma konstitusi (Pasal 23 ayat 1) sehingga tercermin dengan tegas di kedua UU tersebut.

"Jika hal ini dilaksanakan, akan mempunyai dampak langsung yang dapat mengurangi secara nyata berbagai penyimpangan dalam proses pembuatan dan penetapan anggaran di DPR, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran bagi rakyat,” ujar Iwan.

Sebelumnya, pengujian UU MD3 dan UU keuangan Negara ini diajukan Tim Advokasi Penyelamat Keuangan Negara, diantaranya ICW, YLBHI, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), PUSAKO Universitas Andalas, dan PUKAT UGM.

Mereka menguji delapan pasal yaitu Pasal 104 dan Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf e,  Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5), Pasal 71 huruf g, Pasal 156 huruf a, b, dan c angka 2, Pasal 161 ayat (4), (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara. Para pemohon menilai pasal-pasal itu membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi setiap kali pembahasan anggaran oleh DPR.

Kewenangan besar
Sementara KPK Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai korupsi yang terjadi disebabkan wewenang Banggar DPR terlalu besar dalam menentukan jumlah besaran APBN. “Potensi korupsi karena kewenangan Banggar begitu besar yang hasilnya tidak sepenuhnya bisa dipertanggungjawabkan,” kata Bambang yang sengaja dihadirkan oleh pihak pemerintah.

Bambang mengatakan, terdapat modus tertentu yang digunakan dalam penyelewengan anggaran saat pembahasan di Banggar. “Sebagian besar penyalahgunaan anggaran berkaitan dengan APBN-P karena di ujung tahun harus dihabiskan. Jadi, ini siklus,” beber dia.

Selain itu, terang Bambang, proses pembahasan anggaran yang sifatnya tertutup di Banggar menguatkan dugaan adanya penyalahgunaan anggaran. Ditambah adanya pendekatan secara informal menyebabkan sulitnya Banggar diawasi. Misalnya, pembahasan APBN ini juga diduga diwarnai perebutan alokasi anggaran untuk kepentingan dapilnya ataupun kepentingan kelompok tertentu.

“Jadi, secara de facto kewenangan budgeting itu berhimpitan dengan pengawasan. Sementara itu, tidak ada indikator kinerja semakin memperluas daerah abu-abu yang dapat dinegosiasikan,” kata Bambang.

Karena itu, Bambang menyarankan, wewenang Banggar perlu diatur secara tegas dan akuntabel untuk mencegah terjadinya korupsi. “KPK berpendapat, kewenangan DPR, DPRD dalam hal budgeting berpotensi pada penyalahgunaan anggaran sehingga harus diatur secara akuntabel.” 

Tags: