Cegah Fraud dalam Program JKN, Ini Rekomendasi KPK
Berita

Cegah Fraud dalam Program JKN, Ini Rekomendasi KPK

Kementerian Kesehatan perlu menerbitkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang memuat penanganan berbagai penyakit.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi layanan kesehatan di faskes. Ilustrator: BAS
Ilustrasi layanan kesehatan di faskes. Ilustrator: BAS

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014 tak luput dari berbagai persoalan. Selain masalah defisit Dana Jaminan Sosial (DJS), program yang jumlah pesertanya lebih dari 205 juta orang itu juga menghadapi persoalan lain terkait potensi kecurangan (fraud). Pemerintah telah menerbitkan regulasi guna mencegah fraud antara lain Peraturan Menteri Kesehatan No. 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional.

 

Selaras itu KPK, Kementerian Kesehatan, dan BPJS Kesehatan telah membentuk Tim Bersama Penanganan Kecurangan dalam Program JKN. Direktorat Litbang Pencegahan KPK, Syahdu Winda, mengatakan KPK sudah gencar menyuarakan pencegahan fraud dalam program JKN sejak 2015. Setelah terbit Permenkes No. 36 Tahun 2015 dan pembentukan tim penanganan fraud, saat ini pemangku kepentingan menyusun pedoman penanganan fraud.

 

Winda menyebut salah satu fokus utama KPK di bidang kesehatan adalah mengawasi pelaksanaan program JKN. Langkah ini penting karena BPJS Kesehatan mengelola dana yang cukup besar untuk menjalankan JKN, tercatat pembayaran klaim dan kapitasi per 31 Desember 2016 mencapai Rp74 triliun. Sejak JKN bergulir, anggaran kesehatan yang dikucurkan pemerintah untuk masyarakat miskin meningkat tiga kali.

 

KPK mencatat pelaksanaan program JKN menghadapi berbagai tantangan seperti defisit yang besarnya mencapai belasan triliun rupiah. Permenkes No. 36 Tahun 2015 belum mengatur instansi yang berwenang melakukan audit medis untuk mendeteksi fraud. Sampai Juni 2015 KPK memantau ada 175.774 klaim fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) sebesar Rp440 miliar yang diduga fraud, dan sampai Juli 2016 lebih dari 1 juta klaim berpotensi fraud.

 

Winda menyebut salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah fraud yakni menentukan standar pelayanan kedokteran yang diberikan kepada peserta JKN. Standar itu perlu dituangkan dalam bentuk Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Pedoman itu intinya mengatur standar pelayanan yang diberikan dokter dalam menangani penyakit yang dialami pasien. Standar itu menjadi acuan untuk menilai apakah pelayanan yang diberikan kepada peserta sudah sesuai standar atau tidak.

 

“Jika pelayanannya tidak sesuai standar ini maka bisa diduga ada indikasi fraud. Jika tidak ada standar ini bagaimana kita bisa menentukan telah terjadi fraud atau tidak,” kata Winda dalam diskusi di Jakarta, Senin (26/11).

 

Untuk mengoptimalkan penyelenggaraan JKN sekaligus mencegah fraud KPK merekomendasikan sedikitnya 4 hal. Pertama, terkait sistem JKN, Kementerian Kesehatan harus menyelesaikan PNPK. Meninjau ulang secara berkala paket INA-CBGs dan kapitasi agar sesuai kebutuhan. Memperbaiki akurasi data kepesertaan, terutama penerima bantuan iuran (PBI). Memperkuat pengawasan di Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan.

 

(Baca juga: 4 Catatan Kementerian Kesehatan Terhadap JKN)

 

Kedua, terkait pengelolaan dana kapitasi harus didorong pembayaran kapitasi berbasis kinerja. Mencegah perpindahan PBI ke faskes swasta. Dinas kesehatan perlu aktif melakukan pengawasan misalnya melakukan pemotongan kapitasi.

 

Ketiga, mengenai tata kelola obat JKN, KPK merekomendasikan semua daftar obat yang tercantum dalam formularium nasional (fornas) ditampilkan dalam e-catalogue obat, fungsinya sebagai kendali mutu dan harga. Proses tayang e-catalogue oleh LKPP layaknya dilakukan pada awal tahun. Fasilitas kesehatan (faskes) swasta perlu diberi kewenangan untuk mengakses e-catalogue. Perbaikan proses penyusunan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) oleh Kementerian Kesehatan. Penerapan sanksi kepada faskes yang tidak menyampaikan RKO dan Industri Farmasi yang tidak memenuhi komitmen.

 

Keempat, untuk menangani fraud perlu dibentuk satgas penanganan fraud. Satuan tugas inilah yang menyusun pedoman penanganan fraud JKN, dan memulai penindakan fraud untuk memberikan efek jera.

 

(Baca juga: ICW Temukan Banyak Kecurangan JKN di Rumah Sakit)

 

Sebelumnya, anggota DJSN, Zaenal Abidin, mengingatkan pentingnya PNPK untuk semua kasus kesehatan terutama yang manfaatnya dijamin program JKN. Pedoman itu kemudian harus ditindaklanjuti faskes untuk membuat standar operasional prosedur (SOP) yang isinya memuat berbagai hal termasuk clinical pathway. Sayangnya sampai saat ini masih sedikit jenis penyakit yang tercantum dalam PNPK.

 

“Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menyelesaikan sedikitnya panduan untuk 50 penyakit (untuk dimasukan dalam PNPK,-red), tapi Kementerian Kesehatan belum menindaklanjuti,” urai mantan Ketua Umum PB IDI itu.

 

Zaenal mengatakan PNPK menjadi acuan bagi faskes untuk membentuk SOP guna melayani pasien. Menurutnya organisasi profesi seperti IDI sudah membantu pemerintah untuk melengkapi PNPK, tugas Kementerian Kesehatan selanjutnya yakni mengesahkannya dalam PNPK. “Bagaimana kita mau menyebut seseorang melakukan fraud kalau standarnya tidak ada?” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait