Cegah Advokat "Loncat" Organisasi, Perpres Dewan Advokat Nasional Perlu Segera Diterbitkan
Utama

Cegah Advokat "Loncat" Organisasi, Perpres Dewan Advokat Nasional Perlu Segera Diterbitkan

Munculnya berbagai OA menimbulkan organisasi tanpa adanya standarisasi yang sama, mulai dari perekrutan, pendidikan, pengangkatan advokat sampai dengan penegakan kode etik. Hal ini sekaligus menyebabkan sulitnya pengawasan dan pemberian sanksi kode etik kepada advokat karena masing-masing advokat yang diberikan sanksi dapat dengan mudahnya pindah ke organisasi lainnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Webinar dan diskusi publik bertema Reformasi Peradilan Pidana Melalui Penguatan Advokat, yang diselenggarakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Kamis (29/8). Foto: FNH
Webinar dan diskusi publik bertema Reformasi Peradilan Pidana Melalui Penguatan Advokat, yang diselenggarakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Kamis (29/8). Foto: FNH

Salah satu isu yang masih terus bergulir di kalangan advokat adalah menyoal keberadaan organisasi advokat (OA). Menurut Sekretaris Umum Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ibrahim Massidenreng, secara historis sistem OA mengalami berbagai konflik terkait dengan wadah tunggal OA.

Perubahan bentuk OA dari single bar ke multibar bisa dilihat dari putusan MA dan MK. Surat KMA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tidak sebangun dengan Pasal 28 Ayat (1) Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur tentang wadah tunggal Organisasi Advokat; kemudian putusan MK No. 101/PUU-VII/2009 jo No. 112/PUU-XII/2014 jo No. 36/PUU-XIII/2015 menyebutkan bahwa Organisasi Advokat yang secara de facto diakui keberadaannya adalah Peradi dan KAI.

Munculnya berbagai OA menimbulkan organisasi tanpa adanya standarisasi yang sama, mulai dari perekrutan, pendidikan, pengangkatan advokat sampai dengan penegakan kode etik. Hal ini sekaligus menyebabkan sulitnya pengawasan dan pemberian sanksi kode etik kepada advokat, karena masing-masing advokat yang diberikan sanksi dapat dengan mudahnya pindah ke organisasi lainnya.

Baca Juga:

Apabila sistem single bar association dan multi bar association sulit diterapkan, Ibrahim menilai perlu dibentuk Dewan Advokat Nasional (DAN) sebagai jalan tengah. DAN akan menjadi single regulator yang mengemban tugas dan kewenangan untuk melakukan pengembangan kapasitas, kemampuan dan kompetensi profesi advokat agar penegakan hukum di Indonesia dapat tercapai.

DAN harus bersifat mandiri, independen dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan dan politik lainnya.

Idealnya, pembentukan DAN dilakukan melalui revisi UU Advokat. Tetapi sayangnya, RUU Advokat tak kunjung dibahas oleh DPR. Sehingga hal yang mungkin dilakukan dalam waktu dekat adalah dengan menerbitkan Perpers DAN.

“Saya setuju dengan revisi UU Advokat. Di DPR hanya masuk prolegnas, tapi tidak dibahas. Jadi diperlukan entah itu inpres, perpers DAN yang tujuannya untuk merapikan organisasi advokat,” kata Ibrahim dalam rangkaian webinar dan diskusi publik “Reformasi Peradilan Pidana Melalui Penguatan Advokat,” yang diselenggarakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Kamis (29/8).

Wakil Sekretaris Jenderal DPN PERADI Muhammad Daud Berueh menjelaskan problematika multibar OA adalah terkait pengawasan. Pengawasan diperlukan untuk memastikan advokat bekerja sesuai dengan kode etik. Tapi, seleksi dan pengawasan advokat tidak berjalan sebagaimana mestinya karena banyaknya organisasi advokat yang berwenang untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut, yakni lebih dari 50 organisasi.

Padahal, keberadaan organisasi profesi yang kuat diperlukan untuk mendorong profesi hukum yang profesional dan berintegritas dalam interaksi kerjanya dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dan hakim. Sehingga saat ini profesi advokat dinilai dalam kondisi tidak sehat.

Pembentukan DAN perlu dilakukan guna penguatan kelembagaan dan perbaikan budaya organisasi. DAN akan mengurusi standarisasi profesi advokat dan penegakan etik dengan wewenang memverifikasi OA, membentuk Dewan Kehormatan Bersama dan standarisasi kurikulum pendidikan dan ujian. Dan Perpres menjadi salah satu jalan keluar jangka pendek untuk merespons situasi yang tengah terjadi saat ini.

Jika melihat situasi advokat saat ini, maka pembentukan DAN menjadi urgent dan sebuah keharusan. Muhammad Daud meminta seluruh pihak, terutama advokat, untuk memahami keberadaan DAN. Dia menegaskan DAN bukanla bentuk intervensi dari pemerintah.

Justru DAN diperlukan dalam kerangka pemenuhan HAM, mengingat profesi advokat diperlukan guna menegakkan HAM. Sehingga harus diposisikan sebagai bentuk akuntabilitas negara terutama pemerintah sebagaimana pasal 28 I ayat (4) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

“Perpres dan diisi oleh tokoh masyarakat, akademisi dan advokat senior, yang nantinya akan memperkuat UU Advokat yang sekarang,” katanya pada acara yang sama.

Diakui Muhammad Daud, PERADI telah menginisiasi terbentuknya Satu Kode Etik dan Satu Dewan Kehormatan Bersama (DKPB) PERADI SAI pada 2015 silam. Dilanjutkan dengan Deklarasi Warung Daun, Deklarasi bersama dengan OA lainnya untuk mendeklarasikan satu Kode Etik dan Dewan Kehormatan di tahun 2017.

Pada tahun lalu, tercapai kesepakatan membentuk Dewan Kehormatan Pusat Bersama (DKPB) OA Indonesia bersama OA lainnya (2023). DKPB ini dilakukan dengan menyatukan seluruh DKP OAI untuk mengadili pelanggaran kode etik advokat pada tingkat banding dan final.

“Tujuannya tidak ada advokat “loncat” ketika telah mendapatkan sanksi dari OA asalnya,” ujarnya.

Sementara itu Sekretaris Jenderal Asosiasi Advokat Indonesia (Sekjen AAI), Bobby R. Manalu, sepakat atas urgensi revisi UU. Revisi UU Advokat diperlukan untuk menata kembali kelembagaan organisasi advokat.

Salah satu hal yang menjadi fokus adalah terkait laporan pidana terhadap advokat. Dia menilai perlunya dilakukan pemeriksaan kode etik terlebih dahulu oleh DK kepada advokat ketika ada gugatan malpraktek dan laporan pidana.

“Apa perlu dilakukan pemeriksaan potensi pelanggaran kode etik dahulu oleh Dewan Kehormatan (DK), baru setelah itu boleh dipanggil pihak kepolisian,” ujar Bobby.

Di samping itu, perlu diperhatikan pula problematika terkait prosedur pemeriksaan dan eksekusi putusan dari Dewan Etik. Dia menilai selama situasi organisasi advokat masih seperti saat ini maka putusan etik terkait advokat masih akan sulit dieksekusi.

Tags:

Berita Terkait