Catatan terhadap Perma Pedoman Pemidanaan Korupsi
Kolom

Catatan terhadap Perma Pedoman Pemidanaan Korupsi

Beberapa isu mungkin akan timbul dalam pelaksanaan pedoman pemidanaan ini.

Bacaan 2 Menit

Pelaku korupsi dengan kerugian Rp200 juta s/d Rp1 miliar wajib dipidana antara 4-6 tahun, 6-8 tahun, atau 8-10 tahun, tergantung tingkat KDK-nya. Diatur pula rentang hukuman denda yang harus dijatuhkan. Terlihat bahwa rentang hukuman yang ditetapkan relatif tinggi dan jauh di atas rata-rata hukuman yang selama ini dijatuhkan untuk pelanggaran Pasal 2 dan 3, yakni hanya sekitar 2,5 tahun (studi yang dilakukan penulis dalam riset doktoral). Dapat dipastikan akan ada peningkatan signifikan berat hukuman yang akan diterima terdakwa kasus korupsi Pasal 2 dan 3 jika aturan ini diterapkan sepenuhnya.

Secara implisit, Perma 1/2020 juga menegaskan kembali posisi MA terkait penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Lampiran halaman 24 Perma menyatakan hukuman antara 1 s/d 4 tahun hanya dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melanggar Pasal 3 dan merugikan negara maksimal Rp200 juta. Ini sejalan dengan beberapa surat edaran sebelumnya (terakhir SEMA No. 3/2018) yang menyatakan Pasal 2 dan 3 dapat digunakan untuk perbuatan yang sama, dengan pembedaan bahwa Pasal 3 (yang memiliki ancaman pidana minimum 1 tahun, lebih rendah dari pidana minimum 4 tahun pada Pasal 2) untuk digunakan pada korupsi yang merugikan negara Rp200 juta atau kurang.

Banyak isu menarik dalam Perma ini. Dalam catatan pendek ini, Penulis hanya akan menggarisbawahi beberapa permasalahan pokok yang mungkin timbul terkait dan dalam pelaksanaan pedoman pemidanaan ini.

Proporsionalitas Hukuman bagi Pelaku Korupsi Kecil

Karena sifat pedoman ini yang “kaku” (rigid), yakni hanya memuat rentang hukuman yang pendek dan tidak membuka kemungkinan penyimpangan oleh hakim, ada potensi penjatuhan hukuman yang terlalu tinggi (berat) bagi pelaku yang tingkat kesalahannya ringan namun mengakibatkan kerugian negara besar.

Contoh kasus korupsi Videotron oleh anak mantan Menteri Koperasi dan UKM yang merugikan negara sekitar Rp4 miliar. Dalam kasus tersebut didakwa pula Hendra Saputra, office boy yang dijadikan direksi “bohongan” untuk mendapatkan proyek bermasalah tersebut, dengan “uang terima kasih” Rp19 juta (motif Hendra sendiri hanya ingin mempertahankan pekerjaannya). MA menghukum Hendra satu tahun penjara, lebih rendah dari ancaman hukuman minimum empat tahun dalam UU.

Jika kasus ini diputus sesuai Perma 1/2020, ia harus mendekam setidaknya enam tahun di penjara, hukuman teringan korupsi dengan kerugian Rp1-Rp25 miliar. Ada Hendra-Hendra lain, misal pegawai rendah di pemerintahan, yang turut serta atau membantu perbuatan korupsi, yang kemudian baru disadari menimbulkan kerugian besar, hanya karena diminta atasannya. Seharusnya memang tetap dibuka peluang bagi hakim untuk keluar dari rentang hukuman yang diatur dalam kasus-kasus yang sangat khusus, dengan pembatasan yang ketat dan kewajiban hakim untuk menguraikan argumentasinya (meski hal semacam ini sepertinya dihindari karena khawatir disalahgunakan).

Kerancuan Konsep Kerugian Negara dan Hasil Korupsi yang Diperoleh Terdakwa

UU Tipikor membedakan konsep “kerugian negara” dengan “hasil korupsi yang diperoleh” (para) pelaku. Contoh, seorang pemborong proyek bangunan dari APBN senilai Rp1 miliar menurunkan spek bahan yang digunakan, sehingga mendapat “keuntungan” (hasil korupsi) tambahan Rp50 juta (dari selisih spek menurut kontrak dan yang riil digunakan). Karena perbuatan tersebut bangunan tidak dapat digunakan. Dalam kasus ini, kerugian negara adalah Rp1 miliar, sedang keuntungan yang diperoleh terdakwa Rp50 juta.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait