Catatan tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak
Kolom

Catatan tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak

Tulisan ini akan menguraikan catatan penulis terhadap Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak, dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung.

Bacaan 2 Menit

 

Sebenarnya bila kita membaca secara seksama bunyi ketentuan pasal tersebut, secara tersirat, menyebutkan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang equal terhadap kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi juga bisa ditulis dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. Akan tetapi jika kita amati lebih lanjut, pihak pembuat Undang-Undang menggunakan frasa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari frasa ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain bahasa Indonesia.

 

Dalam beberapa kesempatan baik melalui seminar maupun wawancara dengan berbagai media, pihak pembentuk Undang-Undang tampak ingin meredam kekhawatiran yang timbul. Akan tetapi hal tersebut malah semakin menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan. Misalnya interpretasi terhadap kata-kata “wajib” dalam UU No. 24/2009 tersebut yang menurut pembentuk Undang-Undang seharusnya diartikan lebih bersifat anjuran. Padahal, jelas kata “wajib” merujuk pada suatu keharusan.

 

Puncaknya, beberapa waktu lalu, Menteri Hukum dan HAM (“Menkumham”) mengeluarkan tanggapan terhadap permohonan klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 sebagai tanggapan terhadap permohonan klarifikasi yang diajukan beberapa advokat di Jakarta.

 

Adapun beberapa poin pernyataan surat Menkumham tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Penandatanganan perjanjian privat komersial dalam bahasa Inggris tanpa disertai bahasa Indonesia tidak melanggar persyaratan kewajiban sebagaimana dimaksud UU No. 24/2009 sehingga perjanjian tersebut tetap sah dan tidak batal demi hukum atau tidak dapat dibatalkan;
  2. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 31 UU tersebut menunggu sampai dikeluarkan Peraturan Presiden;
  3. Kewajiban tersebut tidak berlaku surut sehingga perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum Peraturan Presiden diundangkan tidak perlu disesuaikan atau menyesuaikan penggunaan bahasa Indonesia yang ditentukan di dalam Peraturan Presiden tersebut.
  4. Terkait dengan penggunaan bahasa para pihak pada dasarnya bebas menyatakan bahasa mana yang akan digunakan dalam kontrak dan jika Peraturan Presiden nantinya menetapkan para pihak wajib menggunakan dua bahasa maka para pihak baru akan terikat terhadap kewajiban penggunaan dual bahasa tersebut akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi para pihak untuk memilih bahasa mana yang akan digunakan jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap kata atau kalimat dalam perjanjian tersebut.

 

Menarik untuk disimak poin-poin tanggapan dari surat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tersebut. Ada beberapa catatan terhadap tanggapan dari Menteri Hukum dan HAM, yakni:

 

Poin pertama, perjanjian privat komersial dalam bahasa Inggris tanpa disertai bahasa Indonesia memang semestinya tidak menjadikan perjanjian tersebut secara serta merta menjadi tidak sah. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa nasional pihak asing tersebut membuka peluang para pihak untuk memintakan pembatalan ke pengadilan dengan berbagai alasan. Misalnya pelanggaran terhadap kewajiban dalam ketentuan UU No. 24/2009 atau alasan ketidakmengertian para pihak terhadap isi dari perjanjian dimaksud.

 

Menarik disimak mengenai “kekreatifan” para advokat dalam mencari dasar dalam memohonkan pembatalan atau memohonkan perjanjian dinyatakan batal demi hukum jika muncul perkara mengenai hal tersebut. Harap dicatat bahwa konsekuensi batal demi hukum dan pembatalan terhadap perjanjian harusnya memiliki akibat hukum yang berbeda.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait