Catatan Penolakan Serikat Buruh Terhadap Program Tapera
Utama

Catatan Penolakan Serikat Buruh Terhadap Program Tapera

Program Tapera tumpang tindih dengan program manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan BPJS Ketenagakerjaan, dan Pasal 37 UU 40/2004. Lebih baik maksimalkan program MLT perumahan dan Pasal 37 UU 40/2004 untuk keperluan perumahan pekerja, sehingga pekerja dan pengusaha swasta/BUMN/BUMD tidak perlu lagi dibebani kewajiban membayar iuran Tapera.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi perumahan
Ilustrasi perumahan

Potongan 3 persen terhadap upah pekerja/buruh sebulan untuk program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai penolakan kalangan pengusaha dan pekerja. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan Tapera diatur melalui  UU No.4 Tahun 2016 tentang Tapera, Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera

Kepesertaan Tapera diatur Pasal 7 UU 4/2016 yaitu setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit upah minimum wajib menjadi peserta. Pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta. Pasal 9 mewajibkan pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya dalam program Tapera ini. Untuk pekerja mandiri harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada Badan Penyelenggara (BP) Tapera untuk menjadi peserta.

Berikutnya Pasal 18 menyatakan pemberi kerja wajib mernbayar simpanan yang menjadi kewajibannya dan memungut simpanan yang menjadi kewajiban pekerjanya yang menjadi peserta. Pemberi kerja wajib menyetorkan simpanan ke dalam rekening peserta yang dikelola oleh bank kustodian. Timboel mencatat sedikitnya 5 hal yang perlu dicermati dalam program Tapera ini.

Baca Juga:

Pertama, pekerja dan pengusaha wajib ikut Tapera dengan membayar iuran 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari Pengusaha, seperti yang diamanatkan Pasal 15 ayat (2) PP No. 25 Tahun 2020, tapi pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera yaitu KPR, Pembangunan Rumah, dan perbaikan (renovasi) rumah. Pasal 38 ayat 1b dan 1c mengatur syarat penerima manfaat Tapera adalah pekerja yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan belum memiliki rumah.

Pasal 39 ayat (2c) menyebut pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai BP Tapera. Sehingga BP Tapera menentukan akses peserta terhadap manfaat Tapera. Melansir laman BP Tapera, yang masuk kategori MBR adalah pekerja dengan penghasilan maksimal Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan untuk wilayah Papua dan Papua Barat.

“Jadi pekerja swasta/BUMN/BUMD wajib menjadi peserta Tapera, tapi tidak mendapat manfaat yang sama,” kata Timboel, Kamis (30/5/2024).

Kedua, dana simpanan peserta yang dikelola BP Tapera tidak ada kepastian imbal hasil. Timboel melihat imbal hasil ditentukan subjektif oleh BP Tapera. Beda halnya dana Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya paling sedikit sama seperti rata-rata deposito bank pemerintah. Selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan kepada peserta JHT lebih tinggi 1 sampai 2 persen dari bunga deposito bank pemerintah.

Ketiga, saat ini sudah ada fasilitas perumahan bagi pekerja swasta/BUMN/BUMD melalui program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu telah diatur Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.17 Tahun 2021 jo Permenaker No.35 Tahun 2016 yang intinya memberikan manfaat sama seperti Tapera yakni KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah. Permenaker 17/2021 mengatur besaran program uang muka perumahan yang diberikan kepada peserta paling banyak Rp150 juta, KPR paling banyak Rp500 juta, dan renovasi paling banyak Rp200 juta.

Selain itu, Pasal 37 UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) juga membuka peluang paling banyak 30 persen dari saldo JHT peserta untuk perumahan setelah masa kepesertaan minimal 10 tahun. Dengan begitu, ada tumpang tindih antara program MLT perumahan, Pasal 37 UU 40/2004, dan Tapera.

“Lebih baik maksimalkan saja MLT perumahan dan Pasal 37 UU 40/2004 untuk keperluan perumahan pekerja, sehingga pekerja dan pengusaha swasta/BUMN/BUMD tidak perlu lagi dibebani kewajiban membayar iuran Tapera,” usulnya.

Di sisi lain, kata Timboel, Permenaker 17/2021 harus direvisi, terutama ketentuan suku bunga yang dibayar peserta perlu disesuaikan dengan suku bunga di Tapera. UU 4/2016 mengatur peserta yang mendapat manfaat Tapera harus membayar bunga pinjaman atas dana yang diberikan BP Tapera sebesar 5 persen per tahun. Timboel juga mengusulkan seharusnya kepesertaan Tapera bagi peserta/pekerja swasta diubah dari wajib menjadi sukarela.

Keempat, kewajiban membayar iuran Tapera yang totalnya 3 persen, akan mengganggu kebutuhan konsumsi buruh dan cash flow perusahaan. Kebutuhan perumahan bagi pekerja bisa mengggunakan MLT Perumahan dan Pasal 37 UU SJSN, sehingga pekerja dan pengusaha tidak perlu lagi membayar iuran. Kelima, kebutuhan perumahan masyarakat miskin dan tidak mampu belum diakomodir (terlaksana) melalui UU 4/2016. Seharusnya Pasal 7 ayat (2) UU 4/2016 dimaknai pemerintah dengan memprioritaskan fasilitas perumahan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Timboel juga mengusulkan pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema PBI (Penerima Bantuan Iuran) seperti di Program JKN, dengan sumber pembiayaan dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang berasal dari APBN. Selain itu, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU 4/2016 terutama Pasal 7, 9, dan 18 dengan mengubah skema kepesertaan wajib bagi pekerja swasta/BUMN/BUMD menjadi sukarela. Permenaker 17/2021 juga perlu direvisi, terutama ketentuan suku bunga yang dikenakan kepada pekerja yang mendapat manfaat perumahan.

Belum tepat 

Terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, intinya mendukung program perumahan untuk rakyat ini. Tapi masalahnya program Tapera belum tepat dijalankan sekarang karena iurannya memotong upah buruh. Selain itu, program tapera juga belum jelas, terutama kepastian apakah peserta Tapera otomatis mendapat manfaat berupa rumah.

“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di-PHK (pemutusan hubungan kerja, red),” tegasnya.

Iqbal menghitung rata-rata upah buruh di Indonesia Rp3,5 juta per bulan. Jika dipotong iuran Tapera 3 persen maka besaran iuran sekitar Rp105 ribu per bulan atau Rp1.260.000 per tahun. Mengingat Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 sampai Rp25.200.000. Jumlah tersebut dinilai tidak akan bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.

“Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” kritik Iqbal.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menganggap wajar apabila masyarakat berhitung mengenai potongan gaji pegawai/karyawan sebesar 3 persen untuk Tapera.

“Iya semua dihitunglah. Biasa dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau enggak mampu, berat atau enggak berat,” kata Joko Widodo usai menghadiri acara Inaugurasi Menuju Ansor Masa Depan di Istora Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (27/5/2024) seperti dikutip Antara.

Presiden mengatakan kebijakan menyangkut Tapera ini sama halnya ketika pemberlakuan kebijakan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) yang dulu juga sempat ramai menjadi perbincangan publik.

“Seperti dulu BPJS, di luar yang PBI, yang gratis 96 juta kan juga ramai. Tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya. Hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra,” kata Jokowi.

Tags:

Berita Terkait