Catatan Negatif untuk Kinerja DPR Sepanjang 2021
Kaleidoskop 2021

Catatan Negatif untuk Kinerja DPR Sepanjang 2021

Mulai di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran. DPR terus berupaya memaksimalkan tugas dan fungsinya sesuai kewenangan konstitusionalnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

“Jauh panggang dari api”. Pepatah itu layak disematkan pada kinerja lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepanjang tahun 2021 Tiga fungsi DPR yakni fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran sepanjang tahun 2021 dinilai publik tidak cukup memuaskan. “Catatan Formappi sepanjang tahun 2021 menunjukkan kinerja DPR tak cukup memuaskan,” ujar peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius dalam “Refleksi Akhir Tahun 2021”, Selasa (28/12/2021) di Jakarta.

Lucius mengatakan fungsi legislasi menjadi sorotan setiap tahunnya. Pada periode 2021, DPR bersama pemerintah hanya mampu menyelesaikan 8 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan menjadi UU dari 33 RUU Prolegnas Prioritas 2021. Dia melihat kondisi keanggotaan fraksi partai koalisi cenderung dominan, sehingga proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan kebijakan di parlemen sangat efektif. Belum satupun kebijakan negara dalam bentuk RUU diputuskan DPR berlangsung alot, penuh perdebatan hingga berujung deadlock.

Bahkan, proses pembahasan sejumlah kebijakan, seperti RUU, Rancangan Anggaran Pendapatan Belanda Negara (APBN) hingga pertanggungjawaban APBN tidak berlangsung lama dan menegangkan. Kata lain, nyaris semua dapat dibahas secara maraton dan tanpa adanya perdebatan sengit. Bila sebuah kebijakan menguntungkan masyarakat, proses yang efektif dan cepat patut diapresiasi. Namun yang terjadi malah sebaliknya.

“Akan tetapi, proses yang efektif sebagaimana tercermin dari mudahnya kebijakan dibahas dan diputuskan DPR lebih memperlihatkan wajah DPR yang tak berdaya, tumpul, tak punya sikap kritis, dan tegas serta ‘manut’ pada pemerintah,” kritiknya.

Bagi Formappi, kata Lucius, proses yang cepat dalam pembahasan sebuah RUU akibat kecenderungan pemerintah bisa mengendalikan DPR. Kendali itu dilakukan melalui partai politik koalisi yang selanjutnya menjadi acuan fraksi-fraksi di parlemen. Menurutnya, ketika DPR sekedar menjadi “stempel” pemerintah, kualitas kebijakan seperti RUU yang dihasilkan menjadi terabaikan. Misalnya, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 soal pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengkonfirmasi kelemahan DPR dalam menghasilkan UU yang berkualitas.

Kendati UU 11/2020 menjadi produk kinerja DPR periode 2020, namun putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 menjadi catatan penting menilai kualitas kinerja DPR. Lagipula, pola pembahasan RUU yang diterapkan DPR dalam kurun beberapa tahun terakhir nyaris sama yakni kecenderungan membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada sekelompok pihak.

“Capaian 8 RUU Prioritas dari 33 RUU yang direncanakan dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 hanya hanya memperlihatkan minimnya hasil kerja DPR, tetapi juga membuktikan ketidakpedulian DPR pada RUU-RUU yang mendesak untuk publik, seperti RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hingga RUU Penanggulangan Bencana.”

Sementara dari aspek fungsi anggaran, tak jauh berbeda dengan legislasi. Lucius menilai proses pembahasan anggaran tak pernah terlihat menjadi isu penting bagi DPR. Memang secara prosedural terdapat pembahasan anggaran antara alat kelengkapan dewan (AKD) dengan mitra kerja masing-masing kementerian/lembaga. Namun pembahasan tersebut tak memunculkan diskusi serius antara anggota AKD dan fraksi dalam memastikan kebutuhan anggaran bagi warga di tengah pandemi.

Lucius tak memungkiri sepinya diskusi proses anggaran dipicu tertutupnya pembahasan antara DPR dan pemerintah, sehingga pembahasan badan anggaran (Banggar) tak terdengar. Padahal semestinya dengan meniru Badan Legislasi (Baleg), Banggar menjadi nahkoda di parlemen dalam memastikan keberpihakan anggaran bagi rakyat. “Semuanya terlihat sudah disiapkan secara matang oleh pemerintah dan DPR tinggal memberikan persetujuan saja,” imbuhnya.

Sedangkan fungsi pengawasan yang menjadi instrumen penting DPR untuk menunjukan kekuasaannya tak pernah dimunculkan sebagai ancaman serius bagi pemerintah. Seperti diekspresikan melalui penggunaan hak istimewa. Seperti interpelasi, angket, dan hak menyatakan pendapat. Sayangnya, kata Lucis, kritikan anggota dewan lebih disuarakan melalui media sosial dan media massa ketimbang di ruang rapat. “Sehingga tak mampu memberikan pengaruh dalam perubahan kebijakan pemerintah,” kritiknya.

Menurutnya, pengawasan pelaksanaan APBN menjadi paling krusial. Semestinya, DPR menjadikan pengawasan terhadap APBN sebagai andalan memastikan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran oleh pemerintah agar penyalahgunaan anggaran atau korupsi dapat dicegah. Kata lain, pengawasan DPR terhadap penggunaan APBN semestinya menjadi kunci yang dapat mencegah terjadinya korupsi yang dilakukan oknum anggota dewan maupun eksekutif.

Padahal, setiap tahun hasil audit BPK di dalamnya tertulis berbagai dugaan penyimpangan yang terjadi di kementerian/lembaga. Nah temuan BPK atas adanya dugaan penyimpangan semestinya mengganggu DPR ketika berhadapan dengan mitra kerja yang diduga melakukan penyimpangan anggaran tersebut. Ironisnya, laporan BPK hanya menjadi tumpukan dokumen karena DPR seolah tak menganggap penting kerja audit BPK. “Sekaligus tak menganggap penting praktik bernegara yang bersih dari korupsi,” katanya.

Terpisah, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan dalam menyelenggarakan mekanisme pembentukan UU, DPR dan pemerintah terus dituntut untuk memenuhi landasan dan tata kelola pembentukan peraturan perundangan yang selaras dengan Konstitusi dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga kepentingan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mendengarkan aspirasi dari rakyat.

“DPR dalam upaya menyempurnakan pelaksanaan fungsi legislasi, akan memperkuat tata kelola pembentukan UU,” ujarnya dalam pidato penutupan masa sidang II Tahun 2021-2022.

Penguatan tersebut melalui taat pada landasan hukum, tertib prosedur, terbuka dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Prinsipnya terhadap upaya hukum masyarakat dalam menguji setiap UU yang dihasilkan DPR bersama pemerintah ke MK menjadi hal yang harus dihormati. Termasuk menghormati setiap putusan MK. Seperti halnya putusan MK terhadap uji formil UU 11/2020. Prinsipnya, DPR bersama pemerintah berkomitmen menindaklanjuti setiap putusan MK sesuai dengan kewenangan konstitusional DPR.

Terkait fungsi pengawasan, kata Puan, DPR tetap melakukan tugasnya dalam mengawasi pelaksanaan APBN 2021. Menurutnya, fokus kebijakan fiskal 2021 masih diarahkan pada penanggulangan pandemi Covid-19, program pemulihan ekonomi nasional (PEN), serta penyelesaian program strategis nasional. Periode 2021, anggaran program penanggulangan pandemi dan PEN ditetapkan Rp699,43 triliun.

Bagi anggota Komisi I DPR itu, program pemulihan ekonomi dan sosial tersebut diarahkan dalam penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan bagi dunia usaha. Menurutnya, setiap komisi dan AKD, melalui fungsi anggaran, melakukan upaya agar pemerintah menjalankan program pembangunan nasional diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemudian hadir dalam menanggulangi urusan rakyat di bidang sosial, ekonomi, budaya dan religius.

“Dalam melakukan fungsi pengawasan, DPR memberikan perhatian pada upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, peningkatan kualitas layanan publik, penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan kinerja aparatur pemerintah,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Tags:

Berita Terkait