Catatan Menarik Survei Integritas KPK-BPS di 36 Instansi
Berita

Catatan Menarik Survei Integritas KPK-BPS di 36 Instansi

Pemerintah Kota Banda Aceh meraih hasil tertinggi dengan nilai 77,39. Hasil survei yang mendekati angka 100 berarti semakin baik, namun angka 100 sendiri bukan berarti bebas korupsi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melansir hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) yang pelaksanaannya menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 6 Kementerian/Lembaga (K/L), 15 Pemerintah Provinsi dan 15 Pemerintah Kabupaten/Kota (sehingga jumlah keseluruhan 36 instansi) pada periode 2017.

 

Ada sejumlah catatan cukup menarik dari pemaparan hasil survei ini. Pertama, masalah peringkat. Dari hasil survei, Pemerintah Kota Banda Aceh meraih hasil tertinggi dengan nilai 77,39, berbeda tipis dengan Pemerintah Kabupaten Bandung yang menduduki peringkat dua dengan nilai 77,15. Dan urutan ketiga Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan dengan nilai 76,54.

 

Sementara di peringkat paling bawah ada Pemprov Papua dengan nilai 52,91, kemudian disusul Kepolisian RI dan Pemprov Maluku Utara. Namun, nilai kedua lembaga itu belum disebut berapa nilainya. Dalam daftar indeks yang salinannya diperoleh wartawan hanya tertulis (Value).

 

"(Hasil sementara) Kepolisian 54,01, sampai hari terakhir responden kepolisian dari internal belum memberikan jawaban sampai deadline," kata Direktur Litbang KPK Wawan Wardiana dalam pemaparannya di Gedung KPK, Rabu (21/11/2018) .

 

Dalam survei kali ini, ada tiga jenis responden, yaitu internal, eksternal dan ahli (expert). Sedangkan untuk kepolisian, hasil survei hanya didapatkan dari pihak eksternal dan ahli, belum ada hasil dari internal kepolisian itu sendiri.

 

Hal menarik lain yakni 17,6 persen responden untuk seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menganggap calo atau perantara masih cukup aktif di bidang pelayanan publik. Kemudian 3 dari 10 responden juga pernah mendengar, bahkan melihat pegawai di 36 instansi itu menerima suap ataupun gratifikasi.

 

"4,8 persen responden masih mendengar atau melihat suap promosi lembaga, memang tidak semua instansi. 30 persen responden internal percaya suap dan gratifikasi pengaruhi karir di lembaganya, 2 dari 10 orang menganggap korupsi tidak dikenakan sanksi, dan 2 dari 10 orang menganggap yang melaporkan korupsi atau suap itu akan dikucilkan," jelas Wawan memaparkan hasil survei lainnya.

 

Integritas dipaksakan

Perwakilan BPS Hermawati berbagi pengalamannya saat melakukan survei ini. Ia menceritakan, ada suatu institusi yang mengumpulkan pegawainya agar jawaban hasl survei seragam. Hal ini, menurutnya tidak efektif dan menutupi hasil sebenarnya.

 

Selain itu, ada juga perbedaan jawaban responden apabila yang mengadakan survei itu BPS dan KPK dengan hasil survei BPS secara tersendiri. "Pertama KPK dan BPS jawabannya normatif, lalu KPK namanya diumpetin (dalam survei) yang (namanya) muncul BPS saja itu mending hasilnya,” terang Hermawati.

 

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan ada dua jenis integritas. Pertama, ada pada diri orang tersebut. Kedua, integritas dipaksakan. Saat ini, ia lebih cenderung berpendapat lebih banyak integritas yang memang harus dipaksakan.

 

"Ada seorang pengusaha dia bilang kalau di Singapura saya tidak berani tidak bayar pajak walau jumlahnya tinggi. Sedangkan kalau di Indonesia bayar pajak rugi, karena pasti diminta juga (oleh oknumnya). Akhirnya terjadi kolusi pemungut pajak dengan pengusaha," ujarnya.

 

Basaria berharap ada upaya paksa para instansi baik itu Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara maupun Kementerian Dalam Negeri yang mempunyai otoritas kepada Pemerintah Daerah. Untuk Kementerian Keuangan contohnya, harus bisa melakukan upaya paksa kepada instansi yang tidak mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) agar tidak diberikan anggaran.

 

"Harus ada upaya paksa, andai di Kemenkeu yang tidak WTP tidak berikan uang (anggaran), mau enggak Kemenkeu berani seperti itu, kira-kira berani enggak Bu? Boleh juga kita bikin seperti itu. Dari Kemendagri misalnya, lakukan upaya paksa, tidak mungkin daerah bisa bekerja tanpa adanya uang," lanjutnya.

 

Salah satu perwakilan Kemenkeu yang hadir dalam pemaparan ini langsung memberikan respon terhadap ajakan Basaria. "Nanti kalau begitu mereka enggak gajian, malah repot apa yang disampaikan Bu Basaria itu kami sudah becandain pada 2012 lalu," terangnya.

Tags:

Berita Terkait