Catatan Legislasi DPR Dinilai Masih Buruk
Berita

Catatan Legislasi DPR Dinilai Masih Buruk

DPR dalam satu tahun ke depan bakal suram di bidang legislasi. Bahkan tak ada lagi semangat dalam menyelesaikan RUU prioritas 2018 karena disibukan perhelatan pesta demokrasi Pilkada dan Pemilu 2019.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Konpers Formappi di Jakarta, Selasa (18/5). Kanan ke kiri: Lucius karius, I Made Wiratma. Foto: RFQ
Konpers Formappi di Jakarta, Selasa (18/5). Kanan ke kiri: Lucius karius, I Made Wiratma. Foto: RFQ

Menghitung sisa masa periode DPR 2014-2019, DPR nampaknya masih banyak meninggalkan pekerjaan rumah terutama fungsi DPR yang sering disorot publik mengenai fungsi legislasi yang dinilai masih buruk. Sebab, Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2018 tersisa 43 RUU. Sayangnya, di masa sidang IV DPR tidak satu pun RUU yang diselesaikan menjadi UU.

 

“Sepanjang masa sidang IV DPR tidak berhasil menyelesaikan satu pun dari 43 Rancangan Undang-Undang prioritas yang tersisa,” ujar Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) I Made Leo Wiratman di Jakarta, Selasa (22/5/2018). Baca Juga: Ini Daftar 17 RUU yang Pembahasannya Sudah Lebih dari 5 Kali

 

Menurutnya, sebelum berakhirnya masa sidang IV, DPR berhasil merampungkan masing-masing satu RUU Prioritas. Namun akibat hiruk pikuk di luar parlemen, DPR seperti tak mampu menyelesaikan pembahasan RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas prioritas 2018 dalam setiap masa sidang satu RUU.

 

DPR hanya mampu mengesahkan 2 RUU yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka. Yakni RUU tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan dan RUU ASEAN Framework Agrement on Services (AFAS).

 

Made Leo menilai DPR memang berencana merampungkan proses harmonisasi pembulatan, dan pemantapan konsepsi. Khususnya terhadap 6 RUU. Sayangnya, lagi-lagi DPR tak mampu menyelesaikan seluruhnya. Hanya 2 RUU yang dapat diselesaikan untuk disepakati dalam  rapat paripurna sebagai usul inisiatif DPR.

 

Yakni RUU tentang Sumber Daya Air dan RUU tentang Perubahan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu, kata Made Leo, DPR berencana melanjutkan pembahasan terhadap 5 RUU. Yakni Revisi KUHP, RUU tentang Penerimaan Negara bukan Pajak, RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 

“Berhubung tidak selesai dibahas dalam masa sidang IV ini, maka DPR kembali memutuskan memperpanjang pembahasan semua RUU tersebut pada masa sidang V,” lanjutnya.

 

Berdasarkan catatan Formappi, terdapat banyak RUU prioritas yang tidak selesai pembahasannya dalam waktu 3 kali masa sidang. Padahal, dalam ketentuan UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3), khususnya Pasal 99 sudah mengatur secara jelas. Pasal 99 menyebutkan, “Pembahasan rancangan undang-undang oleh komisi, gabungan komisi, panitia khusus atau Badan Legislasi diselesaikan dalam 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR”.

 

“Karena itu, keputusan memperpanjang proses pembahasan RUU Prioritas menjadi kebiasaan yang kurang baik untuk ditradisikan. Selain tidak efektif dan efisien, juga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 99 UU MD3 tersebut,” ujarnya.

 

Ketiadaan sanksi dalam penyelesaian tiga kali masa sidang, menjadikan Pasal 99 UU MD3 dipandang tidak lagi bermakna. Sebab, dampaknya, DPR menjadi lebih santai dalam bekerja merampungkan pembahasan RUU. Bahkan seolah, DPR bekerja dalam bidang legislasi tanpa adanya target waktu tertentu.

 

“Tidak mengherankan kalau nasib pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PTPT) misalnya, belum selesai hingga saat ini, meski pembahasannya sudah dimulai sejak April 2016 oleh Pansus,” bebernya.

 

Legislasi suram

Peneliti Formappi Lucius Karius melanjutkan persoalan buruknya kinerja legislasi DPR tak mengalami perubahan signifikan. Sebab, dalam masa sidang IV Tahun 2017-2018 tak ada satu pun RUU yang diselesaikan menjadi UU. Padahal, kerja-kerja DPR dibiayai oleh negara. “Mereka bekerja dibiayai oleh negara dan tanpa target. Merasa tidak ada UU yang dilanggar, akibatnya bekerja dengan sangat santai,” kritiknya.

 

Lucius mensinyalir DPR dalam satu tahun ke depan bakal suram di bidang legislasi. Bahkan tak ada lagi semangat menyelesaikan RUU prioritas 2018. Selain menghadapi perhelatan pesta demorasi tingkat lokal yakni Pilkada, juga di tahun 2019 bakal disibukan menghadapi Pemilihan Umum secara serentak.

 

“Kita menatap DPR satu tahun tersisa dengan wajah suram dan nyaris sulit kita tunjukan dengan bersemangat. Mungkin DPR 2014-2019 akan menjadi catatan DPR paling buruk dibandingkan dengan periode DPR sebelumnya,” sebutnya.

 

Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan terdapat 28 RUU yang masih dalam tahap  pembicaraan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah. Tak hanya RUU yang berasal dari DPR, namun juga inisiatif pemerintah dan DPD. Dari 28 RUU, sebanyak  17 RUU yang pembahasannya sudah melebihi 5 kali masa sidang.

 

“Diharapkan dapat segera diselesaikan pada masa persidangan ini,” ujarnya dalam pembukaan rapat paripurna masa sidang V Tahun 2017-2018, Jumat (18/5) pekan lalu.

Tags:

Berita Terkait