Catatan Kritis terhadap Prolegnas Prioritas 2020
Berita

Catatan Kritis terhadap Prolegnas Prioritas 2020

Ada sejumlah isu semestinya tak perlu diatur dalam bentuk UU, namun justru diusulkan menjadi RUU. Sebaliknya, RUU yang semestinya diterbitkan, justru tak muncul dalam Prolegnas Prioritas 2020. Misalnya, RKUHAP, RUU ITE, RUU tentang Jabatan Hakim.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Selang sehari Badan Legislasi (Baleg DPR) bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menetapkan 50 RUU Prolegnas Prioritas 2020 dan jangka menengah, sejumlah kalangan menyoroti sejumlah RUU yang dianggap substansinya tidak tepat diatur dalam sebuah RUU.  

 

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi menilai gagasan reformasi penyederhanaan regulasi yang dicanangkan Presiden Jokowi tak nampak dalam Prolegnas Prioritas 2020. Dia menilai dari 50 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 yang disepakati DPR dan pemerintah masih mencerminkan semangat “over regulasi”.

 

“Padahal, dalam beberapa kesempatan Presiden menyerukan agar dilakukan penyederhanaan di bidang legislasi,” tegasnya.

 

Dia menilai ada sejumlah isu semestinya tak perlu diatur dalam bentuk UU, namun justru diusulkan menjadi RUU. Seperti RUU tentang Perlindungan Kyai dan Guru Ngaji; RUU tentang Destinasi Wisata Halal; RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila; RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak; dan RUU tentang Ketahanan Keluarga.

 

“Bila berbagai isu tersebut dianggap urgen diatur, semestinya cukup dibuat aturan dalam bentuk peraturan di bawah UU,” sarannya. Baca Juga: Tok! Pembentuk UU Sepakati 50 RUU Prolegnas 2020

 

Sebaliknya, RUU yang semestinya mendesak untuk diterbitkan, justru tak muncul dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020. Misalnya, RKUHAP dan RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE); RUU tentang Jabatan Hakim yang telah masuk dalam Prolegnas 2019 saat periode pemerintahan sebelumnya.

 

“Padahal, persoalan jabatan hakim di Indonesia menjadi masalah krusial yang harus segera dituntaskan,” kata dia.

 

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini juga menyoroti soal RUU Omnibus Law yang diarahkan pada peningkatan investasi dan kemudahan berusaha/bekerja. Dia mempertanyakan RUU Kefarmasian masuk sebagai omnibus law, sementara di sisi lain terdapat RUU Pengawasan Obat dan Makanan.

 

“Poin pentingnya, konsep omnibus law yang diharapkan sebagai UU ‘sapu jagad’ tampak belum terkonsolidasikan dengan baik dari sisi konsep dan implementasi melalui Prolegnas Prioritas Tahun 2020 ini,” katanya.

 

Catatan ICJR

Sementara Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju meminta agar penyusunan RKUHP, Menkumham Yasonna H Laoly melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam pembahasan lanjutan. Tak terkecuali, akademisi dan ahli seluruh bidang disiplin ilmu terkait kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat.

 

“Meminta agar pemerintah membentuk Komite Ahli yang diperluas keanggotaannya yang mencerminkan berbagai bidang dan kajian ilmu untuk melanjutkan pembahasan RKUHP,” ujar Anggara saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (12/6/2019).

 

Bagi ICJR, terdapat lima catatan penting mengenai pembahasan RKUHP ini. Pertama, pembahasan RKUHP semestinya tidak dibatasi pada 14 pasal yang dianggap bermasalah oleh pemerintah. Padahal, elemen masyarakat menilai setidaknya terdapat 24 isu dari pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP.

 

“Termasuk isu pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi,” kata dia.

 

Kedua, menyesalkan DPR dan pemerintah tak memasukkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Sebab, sistem peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain tidak konsisten. Ujungnya, menimbulkan ketidakterpaduan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

 

“Kita mendorong RKUHAP dapat masuk dalam prolegnas prioritas tambahan di akhir 2020 agar sejalan dengan pembahasan RKUHP. RKUHAP sangat penting mendorong terselenggaranya sistem peradilan pidana yang akuntabel, terbuka, integratif.”

 

RKUHAP yang baru diharapkan menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban kejahatan agar tercipta keseimbangan perlindungan antarkepentingan. Yakni kepentingan negara, kepentingan masyarakat, ataupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

 

Ketiga, terkait dengan revisi UU Narkotika diharapkan pendekatan yang dilakukan dengan kesehatan masyarakat. Tak hanya itu, pemerintah dalam merumuskan kebijakan narkotika harus berbasis data.

 

Keempat, mendorong dimasukannya RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020.  Pemerintah semestinya peka terhadap kasus yang menjerat Baiq Nuril hingga pemberian amnesti oleh Presiden Joko Widodo.

 

“Pemerintah sempat memberi ‘angin sorga’ yang bakal berencana merevisi UU ITE dan meminta Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mulai mengkaji rencana revisi UU ITE itu. Tapi, ini sepertinya hanya hiburan dari pemerintah.”

 

Kelima, pemerintah khususnya Menkumham agar menyusun peta jalan (roadmap) reformasi kebijakan pidana. Seperti reformasi hukum pidana yang bertumpu pada perlindungan HAM; kebebasan sipil dan politik; humanis dan demokratis. Kemudian, reformasi kebijakan sistem peradilan pidana yang yang akuntabel, terbuka, integratif, dan menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban kejahatan.

 

Roadmap ini diharapkan dapat menjadi acuan melakukan reformasi kebijakan pidana, antara lain pembentukan hukum pidana yang sesuai dengan jaminan perlindungan HAM dan kebebasan sipil,” katanya.

Tags:

Berita Terkait