Catatan Kritis ICEL Soal UU PPSK dari Aspek Hukum Lingkungan
Terbaru

Catatan Kritis ICEL Soal UU PPSK dari Aspek Hukum Lingkungan

Poin-poin permasalahan yang melekat di dalam UU PPSK antara lain keuangan berkelanjutan, masih belum berhasil mengamplifikasi prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan secara konkret. Aspek HAM dan lingkungan masih jauh dari norma yang aplikatif.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Peneliti ICEL Marsya M Handayani.
Peneliti ICEL Marsya M Handayani.

Poin-poin permasalahan yang melekat di dalam UU PPSK antara lain keuangan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 222 sampai Pasal 224 masih belum berhasil mengamplifikasi prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan secara konkret. Aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan masih jauh dari norma yang aplikatif.

DPR telah menyetujui RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) menjadi undang-undang pada 15 Desember lalu. UU PPSK yang yang disusun menggunakan metode omnibus ini mengubah enam belas undang-undang sektor keuangan.Namun, proses hingga muatan UU P2SK dinilai masih memiliki permasalahan.

Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) menilai penyusunan UU PPSK dilakukan dengan proses yang tergesa-gesa, tidak transparan, serta non partisipatif. ICEL menilaikonsultasi publik tersebut hanya dilakukan terbatas kepada undangan tertentu dan naskah yang dibuka kepada publik hanyalah versi 20 September 2022.

Baca Juga:

“Selain itu, kanal pemberian masukan hanya dibuka dalam batas waktu yang minim dan tidak banyak yang mengetahui kanal ini, mengingat substansi rancangan Undang-Undang yang banyak. Pun pembahasan antara DPR dan pemerintah dilakukan secara tertutup dengan minimnya pengumuman pada agenda dalam website DPR dan penyiaran pada TV Parlemen, Youtube DPR, maupun pemberitaan lainnya,” jelas peneliti ICEL Marsya M Handayani dalam keterangan persnya, Senin (2/1). 

Selain itu, UU PPSK juga berisi beberapa pasal yang berpotensi greenwashing dalam produk perundang-undangan. Poin-poin permasalahan yang melekat di dalam UU PPSK antara lain keuangan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 222 sampai Pasal 224 masih belum berhasil mengamplifikasi prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan secara konkret. Aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan masih jauh dari norma yang aplikatif.

Mengacu pada Equator Principles dan United Guiding Principles on Business and Human Rights–sebagai standar internasional, dalam rangka melaksanakan keuangan berkelanjutan, institusi bisnis (dalam hal ini pembiayaan) berkewajiban untuk memiliki kebijakan lingkungan, sosial, dan tata kelola di internal bank;  melaksanakan uji tuntas HAM/human rights due diligence; mengatur keterbukaan informasi dalam laporan keuangan berkelanjutan; dan kewajiban melaksanakan grievance mechanism dan perbaikan lingkungan yang rusak atas pembiayaan kotor.

“Keempat langkah fundamental ini tidak tercermin di dalam UU PPSK, sehingga UU PPSK hanya menghadirkan frasa “keuangan berkelanjutan” sebagai jargon modern dalam pengelolaan keuangan yang tidak bermakna,” jelas Marsya.

ICEL juga berpandangan UU PPSK belum secara khusus memberikan perlindungan untuk pelaksanaan bisnis yang ramah gender, melainkan abai pada fakta bahwa perempuan dapat secara disproporsional terdampak dari pembiayaan yang merusak lingkungan dan melanggar HAM; absennya kewajiban lembaga jasa keuangan untuk melaksanakan transparansi dan akuntabilitas dalam aktivitasnya.

“Dalam keuangan berkelanjutan performa lembaga jasa keuangan terkait kebijakan berkelanjutan dan performa klien atau perusahaan peminjam harus dibuka kepada public,” kata Marsya.

Namun, UU PPSK luput mengatur prinsip dasar keuangan berkelanjutan yakni transparansi dan akuntabilitas. Hal ini juga mengacu pada keterbukaan informasi publik sebagai pelaksanaan pengawasan publik atas kegiatan yang berpotensi atau telah merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

ICEL juga menilai UU PPSK melanggengkan kesalahan penerapan keadilan restoratif sebagai bentuk penghapusan pidana dan menghentikan penyidikan. Hal ini diatur dalam Pasal 48B UU OJK yang mencampurkan kewenangan penyidik OJK dengan konsep penyelesaian sengketa (grievance mechanism). Padahal, mekanisme keadilan restoratif dan konsep penyelesaian sengketa tidak bersifat meniadakan pidana.

Kemudian pada aspek independensi lembaga pengawas, UU PPSK berpotensi mengganggu independensi OJK, dengan didirikannya Badan Supervisi OJK dalam Pasal 38A. Badan Supervisi OJK merupakan badan yang diseleksi, dipilih, dan diberhentikan oleh DPR. Ia bertugas membantu DPR RI untuk melakukan pemantauan kinerja OJK dengan memanggil Komisioner OJK, meminta keterangan OJK, dan meminta tembusan laporan keuangan. Secara hukum ketatanegaraan, pembentukan Badan Supervisi ini berbahaya bagi keberlangsungan OJK yang merupakan lembaga negara independen karena memungkinkan DPR mengintervensi kebijakan yang diterbitkan OJK.

UU PPSK membatasi upaya penyelesaian sengketa dalam perlindungan konsumen dengan hanya membolehkan pengajuan gugatan melalui badan penyelesaian sengketa yang mendapatkan persetujuan dari otoritas sektor keuangan (OJK) dalam Pasal 245 ayat (2) huruf b). Hal ini juga berpotensi menghambat independensi lembaga penyelesaian sengketa konsumen, karena OJK akan disupervisi oleh Badan Supervisi OJK.

Terlebih, UU PPSK menutup kemungkinan penggunaan UU Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) dalam Pasal 248. Dengan demikian, lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang selama ini menjadi lembaga yang mengadvokasi perlindungan konsumen tidak berlaku dalam menyelesaikan persoalan konsumen dengan lembaga jasa keuangan.

“Berbagai permasalahan tersebut tentunya akan mempersulit implementasi keuangan berkelanjutan. UU PPSK seperti memberikan kemajuan semu atas pengaturan keuangan berkelanjutan. Lagi-lagi pembentukan undang-undang hanya menyasar pada kepentingan dan kebutuhan bisnis. Mimpi Indonesia untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan masih jauh api dari panggang melihat saat ini produk undang-undang yang mempromosikan keuangan berkelanjutan masih kalah menekan kepentingan bisnis,” ungkap Marysa.

Dengan demikian, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keuangan Berkelanjutan yang terdiri dari ICEL, Jikalahari, Responsibank menilai para pemangku kebijakan dapat melaksanakan beberapa poin rekomendasi berikut ini pemerintah perlu meninjau kembali beberapa konsep dalam UU PPSK yang pengaturannya dapat menimbulkan masalah, seperti: keuangan berkelanjutan, keadilan restoratif, grievance mechanism, dan supervisi OJK;

Pemerintah perlu menguatkan pengaturan keuangan berkelanjutan secara holistic, termasuk grievance mechanism dalam peraturan turunan UU P2SK; pelaku bisnis dan institusi finansial harus mampu untuk mengimplementasikan uji tuntas HAM yang terdiri dari membuat kebijakan di internal, melaksanakan asesmen risiko dan dampak, melakukan integrasi di internal, melakukan pengawasan dan pelaporan, serta melakukan remediasi.

Tags:

Berita Terkait