Catatan Kritis atas Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme
Berita

Catatan Kritis atas Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme

Substansinya dinilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan HAM. Kebijakan ini seharusnya diatur lewat UU Perbantuan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
 Aparat TNI saat ikut turun tangan menangani teror ledakan di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta. Foto: RES
Aparat TNI saat ikut turun tangan menangani teror ledakan di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta. Foto: RES

Pemerintah telah menyampaikan Rancangan Peraturan Presiden tentang TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme kepada DPR. Rancangan Perpres ini mendapat sorotan banyak pihak seperti organisasi masyarakat sipil, lembaga negara, Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam mencatat sedikitnya 3 hal yang perlu dicermati dalam Rancangan Perpres ini.

 

Pertama, penanganan terorisme sebagaimana diatur UU No.5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menggunakan konsep penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana terpadu. Karena itu, tindakan yang dilakukan aparat dalam menangani terorisme mengacu sistem peradilan pidana yang berlaku, misalnya melakukan penangkapan, penahanan, penyadapan, dan penyelidikan.

 

“Segala tindakan yang dilakukan dalam menangani terorisme harus menjunjung tinggi HAM,” kata M. Choirul Anam dalam diskusi secara daring bertajuk “Polemik Rancangan Perpres Terkait Pengaturan Pelibatan Militer Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum, Demokrasi, dan HAM”, Rabu (13/5/2020). (Baca Juga: Sejumlah Usulan untuk Reformasi TNI)

 

Kedua, substansi rancangan Perpres tidak mencerminkan mandat UU No.5 Tahun 2018 dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Misalnya, rancangan Perpres mengatur soal penangkalan, sebagaimana tertulis dalam Pasal 3-7 rancangan Perpres. Penangkalan itu dilakukan melalui 4 kegiatan yakni operasi intelijen; teritorial; informasi; dan operasi lainnya.

 

Menurut Anam, kegiatan yang akan dilakukan ini bersifat permanen, padahal tugas perbantuan TNI dalam menangani terorisme sifatnya itu sementara, terbatas, dan terukur. Dalam penangkalan ini, Anam tidak melihat adanya pertanggungjawaban kegiatan dan hasil dalam draf Perpres. Sedangkan UU No.5 Tahun 2018 mengatur pertanggungjawaban hasil bermuara pada penegakan hukum.

 

“UU No.5 Tahun 2018 pertanggungjawabannya jelas, jika ada aparat yang melanggar ketentuan dalam melakukan tindakan seperti penahanan dan penangkapan maka dapat dipidana,” ujarnya.

 

Ketiga, rancangan Perpres mengatur soal penindakan. Menurut Anam harus ditentukan secara jelas pada level apa TNI dapat terlibat dalam penindakan. Seharusnya, TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme ketika levelnya tinggi atau ancamannya besar. Pelibatan ini harus dilakukan lewat otoritas politik sipil yakni Presiden dan dilakukan secara terbuka, sehingga dapat diawasi oleh DPR. Ketimbang menerbitkan Perpres, Anam mengusulkan pemerintah dan DPR untuk membahas RUU Perbantuan.

 

“Kami usul rancangan Perpres ini ditunda. Perpres tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Perpres ini bertentangan dengan UU No.5 Tahun 2018 dan UU No.34 Tahun 2004,” dalihnya.

 

Harus dengan UU Perbantuan

Gubernur Lemhanas Agus Widjojo mengingatkan konstitusi memandatkan TNI sebagai pelaksana utama dalam fungsi pertahanan nasional. Persoalannya selama ini belum ada defenisi yang jelas tentang pertahanan nasional, sehingga sering dipahami terlalu luas. “Pertahanan itu pada dasarnya menghadapi ancaman militer dari luar negeri karena memang tugas militer mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah. Tentara tidak pernah ditujukan untuk menegakan hukum, tapi memenangkan pertempuran, mengalahkan musuh,” paparnya.

 

Agus menekankan agar rancangan Perpres ini harus konsisten dengan mandat peraturan yang lebih tinggi seperti konstitusi, UU No.5 Tahun 2018, dan UU No.34 Tahun 2004. Sudah tegas dan jelas pemberantasan terorisme dilakukan melalui penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana. Kendati militer tidak dirancang untuk menegakan hukum, tapi bisa membantu dalam menangani terorisme. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui keputusan Presiden dan perlu diatur jelas lewat UU Perbantuan.

 

“Rancangan Perpres ini rawan menimbulkan tumpang tindih antar lembaga dalam menangani terorisme,” kata dia.

 

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Muchamad Ali Syafa’at menekankan acuan Perpres harus UU No.5 Tahun 2018 dimana pemberantasan terorisme dilakukan melalui penegakan hukum, bukan perang. Tapi rancangan Perpres ini lebih banyak mengadopsi ketentuan UU No34 Tahun 2004, misalnya menggunakan istilah penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Pasal 6 UU No.34 Tahun 2004 mengatur tindakan tersebut dalam fungsi pertahanan atau operasi militer dalam perang. Sementara keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme masuk dalam mekanisme operasi militer, selain perang (OMSP).

 

Direktur Imparsial Al Araf berpendapat pelibatan militer dalam memberantas terorisme bisa dilakukan, tapi bukan menggunakan Perpres, aturannya harus dibuat rinci dan jelas dalam UU Perbantuan. Menurutnya rancangan Perpres ini bertentangan dengan berbagai regulasi misalnya penggunaan kekuatan TNI dilaksanakan oleh Panglima TNI berdasarkan perintah Presiden. Mengacu pasal 7 ayat (3) UU No.34 Tahun 2004 pelibatan ini harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara (Presiden) dengan pertimbangan DPR.

 

“Dalam rancangan Perpres hanya disebut perintah Presiden, ini bentuknya tertulis atau lisan?” kata dia mempertanyakan.

 

Al juga menyoroti terkait pendanaan, yang bersumber dari APBN, APBD, dan atau pendanaan lain. Padahal jelas UU No.34 Tahun 2004 dan UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebut anggaran TNI berasal dari APBN. Menurutnya, fungsi penindakan sebagaimana diatur dalam rancangan Perpres bertentangan dengan UU No.34 Tahun 2004 dan UU No.5 Tahun 2018.

 

“Rancangan Perpres ini mengasumsikan penanganan terorisme di Indonesia dilakukan dengan cara perang (war model), bukan sistem peradilan pidana,” kritiknya.

 

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani melihat substansi rancangan Perpres sama seperti substansi yang sempat mau dimasukan sejumlah pihak dalam proses pembahasan UU No.5 Tahun 2018 di DPR. Bahkan ketika RUU itu dibahas ada yang mengusulkan judulnya diubah. Arsul mengakui ada sejumlah pihak yang mengusulkan substansi tersebut antara lain anggota DPR yang berlatarbelakang TNI. Hal ini yang menyebabkan pembahasan UU No.5 Tahun 2018 di DPR molor sampai 18 bulan.

 

Menurut Asrul, Perpres itu seharusnya mengatur praktik perbantuan TNI yang sudah berjalan selama ini seperti operasi Tinombala. Operasi Polri dan TNI dalam memberantas terorisme itu tergolong berhasil. Pelibatan TNI harus berbasis skala ancaman, bukan peristiwa. Walaupun pemerintah telah menyerahkan draft ini ke DPR, Asrul mengatakan masih terbuka peluang luas bagi masyarakat untuk memberi masukan.

 

“Masyarakat silakan memberikan masukan terhadap rancangan Perpres ini, DPR akan mulai sidang lagi setelah lebaran” katanya.  

Tags:

Berita Terkait