Catatan Kritis atas Perppu Stabilitas Sistem Keuangan
Utama

Catatan Kritis atas Perppu Stabilitas Sistem Keuangan

Perppu 1/2020 tidak mencantumkan ketentuan kapan dan kriteria berakhirnya ancaman perekonomian. Semestinya ada ketetuan demikian, yang tentu saja KSSK lebih paham soal indikator berakhirnya ancaman.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Peraturan Pengganti Pengganti Undang Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Keuangan dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada Selasa (31/3). Perppu tersebut diharapkan menjadi benteng perekonomian nasional yang menghadapi risiko kirisis akibat pandemi virus Corona.

 

Terdapat berbagai ketentuan yang diatur dalam Perppu tersebut seperti perubahan batas atas defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menjadi lebih 3 persen. Selain itu, terdapat juga perluasan kewenangan lembaga pengawas jasa keuangan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selain itu, terdapat juga pengurangan tarif pajak bagi sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

 

Meski mendapat respons positif, Perppu tersebut ternyata juga mendapat kritik dari berbagai pihak. Selain itu, publik juga mempertanyakan mengenai batas waktu berlakunya Perppu tersebut.

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, menyampaikan penerbitan Perppu sudah tepat diterbitkan di tengah situasi kegentingan yang memaksa agar pemerintah mengambil langkah-langkah dalam penyelamatan perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat akibat penyebaran wabah Covid-19. Namun, dia menilai secara tempo penerbitan Perppu ini terlambat karena seharusnya Perppu sudah diantisipasi untuk diterbitkan ketika wabah Covid-19 mengemuka sejak awal 2020.

 

Dia menyampaikan Perppu tersebut tidak mempunyai pengaturan parameter waktu keberlakuan sehubungan dengan berakhirnya pandemik Covid-19 dan kebijakan darurat ekonomi yang diambil. Meskipun defisit APBN disyaratkan kembali kepada 3 persen pada 2023 seperti tercantum pada Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2, namun pasal tersebut tidak bisa dianggap sebagai parameter bahwa kebijakan darurat ekonomi berakhir pada tahun yang bersangkutan.

 

Menurutnya, Perppu tersebut harus dibaca sebagai aturan khusus dari UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Kalau melihat pada judul dan dasar menimbang Perppu ini, maka Perppu ini berlaku hanya dalam konteks ancaman perekonomian yang disebabkan oleh Covid-19.

 

Ketika pandemi berakhir, maka berangsur-angsur ancaman perekonomian akibat wabah ini diperkirakan berkurang. “Ketika ancaman perekonomian berakhir, maka Perppu ini secara tidak langsung akan kedaluwarsa dengan sendirinya dan tidak bisa dilaksanakan lagi karena wabah penyakit dan ancaman perekonomian sudah berakhir,” jelas Aziz saat dikonfirmasi, Jumat (3/4).

 

(Baca: Perppu Stabilitas Sistem Keuangan Dinilai Rawan Disalahgunakan)

 

Apabila, kondisi genting akibat virus Corona berakhir, maka mekanisme yang ditempuh untuk pencabutan Perppu ini harus ada Perppu atau UU pencabutan ketika pemerintah menetapkan bahwa ancaman atau darurat ekonomi berakhir karena berakhirnya pandemi.

 

“Sayangnya, Perppu tidak mencantumkan ketentuan kapan dan kriteria berakhirnya ancaman perekonomian. Padahal, semestinya ada ketetuan demikian dalam Perppu yang tentu saja Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lebih paham soal indikator berakhirnya ancaman. Jangan sampai Perppu yang misalnya ditetapkan menjadi UU menjadi living law yang sebetulnya sudah tidak berfungsi namun tidak dicabut,” jelas Aziz.

 

Dia juga menekankan agar ada dibedakan antara darurat kesehatan atas pandemi Covid-19 dan ancaman atau darurat perekonomian, meskipun keduanya saling berkaitan. Menurutnya, berakhirnya darurat kesehatan tidak langsung membuat ekonomi membaik, namun perlu waktu untuk berangsur-angsur.

 

Senada dengan Azis, Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai Perppu No.1 Tahun 2020 harus dibatasi masa berlakunya. Menurutnya, pembatasan masa berlaku dari Perppu itu untuk menghindari penyimpangan yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

"Iya harus ada batas waktu yang mengatur ketentuan itu agar tidak menimbulkan penyimpangan dari penerapan Perppu tersebut," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/4).

 

Meski demikian, Bamsoet menegaskan bahwa MPR tetap mendukung semua langkah pemerintah dalam menanggulangi penyebaran Covid-19.Menurutnya, berdasarkan Rapat Pimpinan MPR RI pada Senin (30/3) memutuskan untuk sepakat memberikan kelonggaran kepada pemerintah untuk melakukan langkah-langkah urgensi dalam penggunaan anggaran

Bamsoet menilai Perppu tersebut merupakan niat baik pemerintah demi kepentingan dan keselamatan masyarakat karena hal itu harus diutamakan. "Saya juga meminta dan mendorong DPR untuk lebih kompromi melonggarkan dalam penggunaan anggaran, termasuk juga minus yang melebihi daripada 3 persen," ujarnya.

 

Regulasi Jangan Hambat Bantuan Daerah

Persoalan lain yang jadi perhatian terkait dengan kebijakan keuangan daerah. Aziz mengungkapkan Perppu 1/2020 satu sisi memberikan keleluasaan bagi pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan APBD.

 

Namun, sisi lain pemberian delegasi terlebih dahulu dalam pembentukan Peraturan Menteri Dalam Negeri soal relaksasi kebijakan keuangan daerah justru akan menghambat pemda dalam mengambil kebijakan cepat dalam mengimplementasi relaksasi kebijakan keuangan daerah menanggulangi Covid-19 dan situasi perekonomian di daerah.

 

Menurutnya, semestinya Perppu memberikan kewenangan kepada pemda langsung mengambil kebijakan tersebut dengan tetap di bawah pengawasan Kemendagri dan memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara dan daerah.

 

Dalam hal ketentuan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah seharusnya juga mengatur mengenai keterlibatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), selain tentunya BUMN, dalam rangka pemulihan tadi dimana Daerah dapat memberikan penyertaan modal daerah dan penugasan kepada BUMD, mengingat diantara sektor ekonomi BUMD ada yang menyangkut hajat hidup masyarakat seperti pertanian, pangan, air minum dan perpasaran.

 

Dari sisi kebijakan perpajakan bagi pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara luar perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) atau e-commerce sudah tepat dalam rangka menegakan hukum perpajakan bagi mereka yang bertransaksi dengan konsumen Indonesia termasuk sanksi pemutusan akses.

 

Namun demikian, Aziz menyatakan pemutusan akses tanpa prosedur yang jelas malah merugikan konsumen lokal yang bertransaksi dengan pelaku e-commerce luar negeri. Hal ini akan menyulitkan akses konsumen manakala terdapat tuntutan kepada pelaku e-commerce luar negeri yang wanprestasi dan konsumen berhadapan dengan pilihan hukum dan forum yang ada di luar negeri.

 

Kemudian, dia juga mengomentari pelindungan yang diberikan pada pejabat pengambil dan pelaksana kebijakan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 27 ayat (2) haruslah dipahami sebagai koridor dan batasan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

 

Menurutnya, frase "iktikad baik" adalah standar dalam perumusan kebijakan publik sehingga apabila ada dugaan penyalahgunaan kewenangan dan benturan kepentingan dalam pengambilan serta pelaksanaan kebijakan publik berarti perlu tetap dimungkinkan adanya penuntutan pidana atau perdata.

 

Tags:

Berita Terkait