Catatan Komnas HAM terhadap Lima Isu dalam RKUHP
Utama

Catatan Komnas HAM terhadap Lima Isu dalam RKUHP

Mengenai pengaturan delik hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), mati, kebebasan sipil, kesusilaan, dan pidana khusus. Komnas HAM mendesak pembentuk UU untuk membenahi sejumlah pasal RKUHP yang masih bermasalah itu sebelum disahkan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Anam mencatat sedikitnya ada 2 pasal bermasalah terkait hukuman mati yakni Pasal 100 ayat (1), ayat (4), dan Pasal 101 RKUHP. Beberapa pasal itu memuat kata “dapat”, sehingga meniadakan asas kepastian hukum bagi terpidana mati. Seharusnya kata “dapat” diganti menjadi kata “harus.”

 

Ketiga, kebebasan sipil, salah satunya terkait delik agama. Anam berpendapat penafsiran agama tidak layak untuk dipidana. Pasal 304 RKUHP, menurut Anam sudah tepat menggunakan unsur “sifat permusuhan” dan rumusan ini lebih jelas daripada “penodaan” dan “penghinaan” yang multitafsir. Kemudian frasa “agama yang dianut”, menurut Anam ini membatasi dan kurang mengakomodir keberadaan aliran kepercayaan.

 

“Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945, serta Pasal 18 UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR,” ujarnya mengingatkan.

 

Masih mengenai kebebasan sipil, Anam mempersoalkan lahirnya kembali pasal penghinaan presiden yang telah dihapus MK lewat putusan MK bernomor 013-022/PUU-IV/2006. Putusan itu menghapus Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP. Anehnya, pasal itu dihidupkan kembali lewat Pasal 218 dan 219 RKUHP. Bagi Komnas HAM, pemberlakuan kembali pasal ini berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Pasal 19 UU Np.12 Tahun 2005 dan UUD Tahun 1945.

 

Ketentuan serupa juga ditemui dalam pasal makar dalam RKUHP. Anam melihat RKUHP memperluas makna makar menjadi 3 jenis tindak pidana makar yakni makar terhadap presiden (Pasal 191), makar terhadap NKRI (Pasal 192), dan makar terhadap pemerintah yang sah (Pasal 193-195). Pasal 167 RKUHP menjelaskan defenisi makar yaitu niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.

 

“Ketentuan makar terhadap negara dan presiden sudah cukup baik daripada draft RKUHP sebelumnya. Tapi terkait makar terhadap pemerintahan yang sah, saya mengusulkan untuk dihapus saja guna menghindari absolutisme kekuasaan eksekutif,” usulnya.

 

Keempat, tindak pidana kesusilaan diatur Pasal 417 ayat (1) RKUHP yang memperluas definisi zina meliputi pihak yang tidak terikat perkawinan yang sah; Pasal 413 ayat (1) Percabulan; Pasal 421 ayat (1) huruf c Pornografi tidak memuat unsur “kesengajaan” dalam rangka memproduksi, mempublikasikan dan menyebarluaskan. Pasal 421 ayat (1) ini tidak memasukan ketentuan perbuatan cabul di ruang privat. Pelaku yang melakukan pencabulan di ruang privat berpotensi akan lepas dari jerat pidana pencabulan ini.

Tags:

Berita Terkait