Catatan ICW Atas Pengaturan Tipikor yang Bermasalah dalam RKUHP
Utama

Catatan ICW Atas Pengaturan Tipikor yang Bermasalah dalam RKUHP

Seperti hukuman badan bagi pelaku korupsi dan denda dikurangi, bertentangan dengan putusan MK, hingga korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Padahal, pembatasan aspek tersebut malah bertentangan dengan putusan MK No.31/PUU-X/2012. Dalam pertimbangan putusan MK tersebut menegaskan aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain. Bahkan pula dapat membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut.

“Dengan dasar putusan ini, menjadi jelas jika dikatakan RKUHP bertentangan dengan putusan MK tersebut,” lanjutnya.

Keempat, korupsi tidak lagi kejahatan luar biasa. Menurutnya, dalam banyak literatur, menyebutkan korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat penyebutan itu, ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum. Antara lain pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum dalam UU 31/1999. Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP. Seperti Pasal 610 ayat (2) RKUHP terkait tindak pidana suap.

“Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku,” kata dia.

Kelima, mengkriminalisasi kritik masyarakat dalam persidangan perkara korupsi. Dalam banyak proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberi efek jera maksimal kepada pelaku. Alih-alih menghukum berat pelaku tipikor, malah rata-rata pelaku korupsi pada periode 2021 hanya diganjar hukuman 3 tahun 5 bulan penjara. Bahkan, masih ada sejumlah putusan ganjil. Mulai dari Terdakwa Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo.

Kondisi tersebut pun memantik kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman yang menjerakan pelaku. Lagi-lagi sayangnya, draf RKUHP malah hendak mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 280 huruf b. Karenanya bila RKUHP disahkan dan diundangkan, bukan tidak mungkin masyarakat yang mengkritik dapat diproses secara hukum.

“Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi RKUHP bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan aspek partisipasi masyarakat. ICW mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor,” pintanya.

Terpisah, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar menyarankan agar pembahasan RKUHP dilakukan tidak tergesa-gesa. Menurutnya, bila RKUHP dianggal sebagai kado jelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Republik Indonesia sama halnya dengan adanya konklusi mendahului analisis. Padahal, terpenting proses pembahasan RKUHP ketimbang memikirkan aspek konklusi.

“Jangan sampai penyusunan RKUHP terkesan terburu-buru. Kalau buru-buru harus 17 Agustus 2022 sudah disahkan, saya pikir itu ugal-ugalan.”

Tags:

Berita Terkait